Minggu, 08 Juli 2012

Representasi Perempuan Afghanistan dalam novel My Forbidden Face dalam kaitannya dengan relasi gender


Representasi Perempuan Afghanistan dalam novel My Forbidden Face dalam kaitannya dengan relasi gender

Hiqma Nur Agustina, M. Si, M. Hum.
Staf Pengajar FKIP Universitas Islam Syekh-Yusuf, Tangerang

Abstrak
Dewasa ini banyak novel karya penulis perempuan yang berani mengungkapkan represi dan ketertindasan perempuan oleh sistem patriarki, dari mulai yang sedikit gamblang hingga ke ekspresi nyata dan brutal yang dialami dan dirasakan perempuan sebagai akibat deraan tekanan psikis dan fisik yang mereka alami. Novel-novel hasil goresan pena para penulis perempuan tersebut mengedepankan sisi ketimpangan relasi gender yang makin tampak mengemuka saat ini.

Tulisan ini mengetengahkan representasi perempuan dunia ketiga yang mengalami represi yang diwakili oleh sosok perempuan kuat dan tegar bernama Latifah. Dia mencoba menyuarakan aspirasi kondisi perempuan di negaranya, Afganistan. Dia bertindak dalam kapasitasnya sebagai representasi perempuan Afganistan yang tidak lagi memiliki kebebasan dan terbelenggu dalam sistem dan pola pikir patriarki.

KATA KUNCI:  gender, feminisme, representasi, identitas budaya

Pengantar
            My Forbidden Face adalah sebuah novel yang cukup fenomenal karya Latifah, sosok perempuan yang mendapat julukan Perempuan Internasional PBB 2002 yang mencoba menjadi corong bagi perempuan-perempuan di negaranya. Dia mengetengahkan peristiwa ketertindasan perempuan di Afganistan. Ketertindasan ini tidak hanya berwujud fisik tetapi juga psikis. Fokus utama tulisan ini adalah untuk menganalisis tokoh utama dalam novel tersebut dalam bersikap terhadap represi yang dialaminya. Dia berjuang bersama kaum perempuan di dalam keluarganya (kakak dan ibunya) serta perempuan Afganistan lain terhadap relasi gender yang dilekatkan oleh rezim berkuasa di Afganistan.
            Pada tahun 1959, misalnya, memakai kerudung atau yang dikenal dengan istilah hijab adalah menjadi sebuah pilihan bagi kaum perempuan. Perempuan diberi hak untuk memilih pada tahun 1964. Peraturan-peraturan yang sifatnya memberi kemerdekaan dan kebebasan bagi perempuan untuk turut berpartisipasi di ranah publik terbukti membuka kesempatan yang luas bagi perempuan. Namun semua kebebasan yang dirasakan tersebut akan berganti dengan sebuah sistem yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
            Di awal sebelum terbentuknya sistem Republik, Afganistan adalah sebuah negara yang menganut sistem monarki yang dipimpin oleh Raja Mohammad Zahir Shah, yang kemudian digulingkan oleh Mohamad Daud. Ia membentuk Republik Afganistan dan bertindak sebagai Presiden Afganistan yang pertama. Hal ini tidak berlangsung lama karena pada bulan April 1978, kudeta membuat Afganistan menjadi Republik Kedua yang Komunis dengan Noor Mohammad Taraqi sebagai presiden dan Hafizullah Amin sebagai perdana menteri.
            Reformasi yang dipaksakan terhadap masyarakat Afgan yang sebagian besar masih tradisional, memicu pemberontakan rakyat. Pada umumnya, mereka berkarakter Islam yang berusaha untuk menggoyahkan rezim. Kolonialisasi terjadi semenjak kedatangan Inggris dan Rusia di Afganistan. Penjajahan tersebut berhasil diakhiri dengan perjanjian Kabul yang isinya mengakhiri kekuasaan Inggris dan Rusia yang mengklaim berkuasa atas Afganistan. Pada Desember 1979, intervensi militer Soviet mulai beraksi di Afganistan. Intervensi ini merupakan awal bagi kolonialisasi kedua di Afganistan.
            Pejuang Mujahidin melancarkan gerilya melawan Soviet dan pasukan Afgan yang berada di bawah kontrolnya. Perang ini memakan waktu yang cukup lama, yaitu sepuluh tahun. Campur tangan PBB untuk menghentikan perang ini diwujudkan melalui Penandatanganan Perjanjian Jenewa antara Pemerintah Kabul, Uni Sovyet, Pakistan dan Amerika. Hal ini berkaitan dengan waktu penarikan mundur tentara Soviet dari Afganistan.
            Banyak orang meramalkan kedamaian yang dapat segera dirasakan oleh penduduk Afgan. Akan tetapi, hal ini tidak terbukti. Setelah proses evakuasi tentara Soviet selesai, muncul perang saudara baru di kalangan Mujahidin dari berbagai kelompok etnik, terutama Tajik di bawah Ahmed Shah Massoud dan Pashtun di bawah Gulbuddin Hekmatyar.
Yang perlu dicatat disini, meskipun perang saudara ini meletus, perempuan masih memiliki kemerdekaan dan haknya untuk tetap bisa bekerja, bersekolah, menyelenggarakan aktivitas sehari-hari. Dengan kata lain, kaum perempuan masih bisa berlega hati untuk menjalankan aktivitas rutin mereka walaupun di bawah desingan peluru dan bom yang berjatuhan. Nafas kehidupan dan kemerdekaan masih bisa mereka rasakan.
Kehidupan mereka berubah total ketika di bulan April 1992, Mujahidin pimpinan Massoud mengambil alih Kabul. Negara Islam Afganistan diproklamasikan. Sebghatullah Mudjaddedi menjadi presiden selama dua bulan yang kemudian digantikan Burhanuddin Rabbani pada bulan Juni. Perang saudara berkecamuk lagi, antara kekuatan di bawah Komandan Massoud melawan kekuatan Islam ekstrim yang didukung oleh Pakistan. Taliban[1] meraih kemenangan pertamanya di Selatan ketika mereka berhasil menguasai Kandahar tahun 1994.[2]
Semenjak kemunculan Taliban dengan dukungan Pakistan dan Arab Saudi, kehidupan perempuan Afgan bagaikan tidak pernah terlepas dari kekejaman. Kemerdekaan mereka diambil paksa, kebebasan bersuara tidak lagi mereka dapatkan. Mereka menjadi tawanan di rumah mereka sendiri. Taliban benar-benar merepresi dan melarang perempuan berkiprah di ranah domestik. Memakai kerudung adalah sebuah kewajiban, yang tidak lagi bisa ditawar dan berharga mutlak. Yang lebih parah mereka dipaksa untuk memakai chadri (burqa) dan dilarang ke luar rumah tanpa disertai muhrim.
Chadri adalah pakaian panjang yang hampir keseluruhan lipatannya menjuntai ke tanah dengan sebuah topi menutupi bagian kepala dengan bagian yang paling menakutkan adalah lubang-lubang kecil di sekitar mata dan hidung. Perempuan yang dulunya bisa bekerja, bersekolah, menentukan pilihan hidupnya sekarang tidak bisa lagi. Tindakan perkosaan, penyiksaan dari skala ringan hingga brutal bahkan pembantaian masal dilakukan oleh Taliban untuk menunjukkan kekuasaan mereka.
Berdasarkan kondisi yang sungguh luar biasa dalam merepresi kaum perempuan Afgan membuat Latifa, tokoh utama sekaligus penulis novel My Forbidden Face berusaha memberikan kesaksian bagi dunia luar tentang kekejaman rezim Taliban terhadap kaum perempuan di negaranya. Dia menuangkan kesaksian, kekejaman dan represi tersebut ke dalam sebuah novel yang luar biasa, My Forbidden Face. Tulisan ini disusun dengan menggunakan relasi gender dan teori Feminis untuk mempertajam analisis.

My Forbidden Face karya Latifa
            My Forbidden Face adalah sebuah novel yang ditulis oleh Latifa yang juga berperan sebagai tokoh utama yang memberikan kesaksian terhadap kekejaman dan ketertindasan perempuan Afgan oleh rezim Taliban. Latifa adalah anak keempat dari sebuah keluarga yang modern. Ayah dan ibunya memberikan kebebasan bagi setiap anaknya untuk memilih dan menentukan pendidikan. Latifa memiliki bakat di bidang jurnalistik. Menjelang ujian tes masuk sekolah jurnalistik, Taliban datang di negeri yang aman dan damai tersebut. Segala impian, cita-cita dan harapan yang sudah terlanjur dia susun menjadi musnah.
            Dia terpaksa berdiam diri di rumah tanpa bisa melakukan hal berarti termasuk juga ibu dan kakak-kakak perempuannya. Sang ibu tumbuh dalam iklim modern yang membuatnya bisa memperoleh ijazah keperawatan dan bekerja sebagai ahli bidang ginekologi di rumah sakit Kabul. Kakak perempuan pertamanya, Chakila telah menikah dan pindah di rumah mertuanya di Peshawar, Pakistan. Kakak ketiganya, Soraya adalah seorang pramugari di maskapai Air Ariana. Ayah Latifa sendiri membuka usaha di komplek pertokoan Kabul, namun akhirnya hanya bisa mengandalkan tabungan karena toko yang dia bangun dengan susah-payah musnah karena ledakan bom.
            Sebagai perempuan muda yang menginginkan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, Latifa sempat mengalami depresi yang berat. Terlebih semenjak Taliban mengeluarkan dekrit yang berisi larangan-larangan yang merepresi perempuan. Untuk menyimpan foto dan mendengarkan musik sebagai wujud hiburan tidak diperbolehkan, keluar rumah juga dilarang. Dari sisi ini saja kita bisa melihat bagaimana Taliban benar-benar berusaha menghancurkan Afganistan.
            Diilhami oleh seorang mantan gurunya, Latifa dan seorang temannya sepakat untuk membuka underground school, sekolah rahasia bagi anak-anak di rumahnya. Pengalaman gurunya, Mrs. Fawzia yang disiksa karena ketahuan membuka sekolah rahasia ini tidak menyurutkan minat Latifa. Berkat kecermatan, keberanian dan dan kehati-hatiannya dalam bertindak, sekolah rahasia ini lolos dari pengamatan Taliban. Demikian juga dengan usaha klinik rahasia ibunya yang dijalankan secara rahasia di rumah. Banyak pasien wanita yang menjadi korban Taliban datang berobat dan mengunjunginya. Bahkan, sampai ada tiga orang wanita yang harus dioperasi dengan peralatan sekadarnya karena mengalami perkosaan oleh lima belas orang Taliban dan kemudian memotong alat genital mereka. Sungguh perbuatan yang sangat biadab!
            Kesempatan untuk menjadi perempuan yang bisa menyuarakan represi dan kekejaman yang dilakukan Taliban ini datang kepadanya ketika salah seorang relasi ibunya, Dr. Sima meminta Latifa untuk pergi ke Perancis atas undangan majalah wanita Perancis. Latifa diharapkan mampu mewakili dan menyuarakan nasib perempuan Afgan yang mengalami kekejaman yang hebat tanpa bisa memberontak.
            Ketika masa itu tiba, dengan ditemani oleh kedua orang tua mereka berhasil tiba di Perancis dengan semangat untuk bisa mengubah nasib dan keterpurukan perempuan di Afganistan. Perjuangan Latifa ini pada akhirnya diketahui oleh rezim Taliban yang mengancam akan membunuh seluruh anggota keluarganya yang masih berada di Afganistan. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan anggota keluarga yang masih bermukim di Afganistan, perempuan muda hebat ini menggunakan nama samaran Latifa.

Relasi Gender
            Menurut Agarwal (1996: 51), relasi gender merujuk pada relasi kekuasaan di antara perempuan dan laki-laki, yang diungkapkan dalam serangkaian praktek, ide, representasi, termasuk pembagian kerja, peran, dan sumber penghasilan di antara perempuan dan laki-laki, serta anggapan bahwa mereka memiliki kemampuan, sikap, keinginan, watak kepribadian, dan sebagainya yang berbeda. Relasi gender dibentuk oleh dan membantu membentuk praktek-praktek serta ideologi ini di dalam interaksi dengan struktur hierarki sosial yang lain seperti kelas, kasta dan ras. Mereka dapat dilihat sebagian besarnya sebagai konstruksi sosial (daripada ditentukan secara biologis), dan dapat berubah sesuai waktu dan tempat.[3]
            Sama halnya seperti gender, relasi gender tidak sama dalam setiap masyarakat dan tidak pula statis di dalam sejarah. Ia bersifat dinamis dan berubah sesuai waktu. Meskipun demikian, seseorang dapat mengatakan bahwa dalam kebanyakan masyarakat relasi gender bersifat timpang. Semua ini karena konstruksi sosial yang melekat di masyarakat terlanjur mengasumsikan bahwa posisi perempuan berada di ranah domestik. Perempuan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, mengasuh anak, melayani suami dan kegiatan rumah tangga lain.
            Pemahaman ini menimbulkan suatu realita bahwa yang berhak berperan di dalam ranah domestik hanya laki-laki. Secara teoritis, hierarki gender bisa berarti dominasi dari setiap gender, tetapi di dalam praktik hal itu hampir selalu bermakna sebuah hierarki yang mengutamakan kedudukan laki-laki mendominasi dan perempuan didominasi. Relasi gender dengan demikian adalah relasi kekuasaan dan subordinasi dengan elemen kerjasama, kekuatan dan kekerasan untuk mempertahankannya. Dominasi laki-laki atau yang bersifat patriarkal merupakan pemahaman yang ada di masyarakat.[4]
            Konstruksi masyarakat tersebut melahirkan stereotipe yang memberikan citra dan celah bagi laki-laki untuk melakukan diskriminasi dengan mengatasnamakan kebodohan, kelemahan dan daya rasionalitas perempuan yang cenderung lemah yang secara substansial merupakan logika penindasan atas perempuan. Perempuan dipahami hanya sekedar bagian dari laki-laki, tersingkir dari pengambilan keputusan (subordinasi) dan termajinalisasi dari proses ekonomi yang menciptakan suatu ketidakadilan.

Gerakan Feminisme
            Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)[5], feminisme diartikan sebagai ‘gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria’. Istilah feminisme merupakan penggabungan pelbagai doktrin hak-hak yang sama bagi perempuan. Feminisme diawali oleh ketimpangan relasi antara laki-aki dan perempuan di masyarakat sehingga pada akhirnya timbul kesadaran dan upaya untuk menghilangkan ketidaksetaraan dalam relasi ini.
            Istilah feminisme sering disalahpahami. Yang dimaksud dengan istilah tersebut mengacu pada gerakan sosial (social movement) yang dilakukan baik oleh kaum perempuan maupun laki-laki untuk meningkatkan kedudukan dan peran kaum perempuan serta memperjuangkan hak-hak yang dimiliki secara adil.
            Berkaitan dengan itu, muncullah istilah equal right’s movement atau gerakan persamaan hak. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara ini sering dinamakan women’s liberation movement disingkat women’s lib atau women’s emancipation movement, yaitu gerakan pembebasan wanita.
            Pada dasarnya feminisme merupakan implementasi dari kesadaran untuk menciptakan keadilan gender dalam kerangka demokratisasi dan HAM (Hak Asasi Manusia). Gerakan tersebut diperkirakan muncul seiring dengan ideologi aufklarung (enlightment) yang muncul di Eropa pada abad 15-18. Gagasan yang dominan pada waktu itu adalah paham rasionalisme yang ditandai dengan pemujaan akal, pikiran dan rasio. Ide rasionalis mempengaruhi revolusi Perancis (1789-1793) dengan menggunakan slogan kebebasan dari penindasan (liberte), pengakuan terhadap persamaan hak (egalite) dan semangat persaudaraan (fraternite) sebagai semboyan untuk meruntuhkan rezim kerajaan yang otoriter yang digantikan dengan kekuasaan republik yang menggunakan sistem demokrasi.[6]
            Namun perempuan tidak serta merta bisa menikmati hasil dari perjuangan tersebut. Karena setelah revolusi Perancis, peraturan-peraturan yang merugikan perempuan tetap berlaku dan disahkan kembali. Dari sejarah gerakan perempuan di Perancis menunjukkan bahwa perempuan tidak serta merta mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki meskipun telah muncul gagasan liberte, egalite dan fraternite sebagai nilai-nilai universal kemanusiaan. Hegemoni patriarki dan kuatnya sistem sosial budaya yang mengakar menghambat geliat perempuan dalam menuntut keadilan.
            Mary Wollstonecraft (203: 30), perintis gerakan feminisme Inggris dalam A Vindication of the Rights of Woman (Perlindungan Hak-hak Kaum Wanita) yang ditulis di akhir abad ke-19 mengemukakan bahwa kaum wanita, khususnya dari kalangan menengah merupakan kelas tertindas yang harus bangkit dari belenggu rumah tangga. Dalam masyarakat patriarkal, perempuan dimasukkan ke dalam kubu rumah yang terbatas pada lingkungan serta kehidupan di rumah, sedangkan laki-laki menguasai kubu umum, yaitu lingkungan dan kehidupan di luar rumah.[7]
            Perempuan seringkali berada dalam situasi keterikatan. Keterikatan ini berarti ketidakmerdekaan perempuan sebagai manusia dalam menentukan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sendiri. Situasi ketidakadilan tersebut muncul karena struktur budaya yang dibuat oleh manusia.

Penokohan Latifa dalam novel My Forbidden Face
            Sebagai penulis sekaligus tokoh utama dalam novel My Forbidden Face, Latifa adalah sosok perempuan muda Afgan yang merasa hidup dan kehidupannya tercerabut dengan paksa oleh rezim berkuasa di negeri yang dia cintai. Di tengah kondisi ketidakberdayaan untuk melawan himpitan represi, dia berjuang untuk mengubah konstruksi gender yang sangat patriarkis. Impian dan harapan gadis muda ini adalah menjadi seorang jurnalis. Bertepatan dengan akan diikutinya tes ujian masuk sekolah jurnalisnya, Taliban datang dan membentangkan kekuasaan yang sungguh di luar batas akal sehat manusia. Hari-hari keterkungkungannya berdiam diri di rumah tanpa bisa melakukan sesuatu yang bearrti membuat Latifa depresi, kehilangan semangat dan kepercayaan diri untuk menggapai mimpi dan harapan yang dia angankan. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut:
            The days are endless tunnels of inactivity. I spend most of my times lying down in my room, staring at the ceiling or reading. No more jogging in the morning, no more biking – I’m slowly going to seed. No more English classes, or newspapers (2001: 57-58).

            Peran Latifa sebagai pendobrak sistem patriarki dari dominasi Taliban ini tidak semuanya menunjukkan kesadaran sebagai perempuan yang mengerti akan hak-haknya. Ada ambivalensi yang terlihat ketika dia tidak menolak sistem dan tradisi budaya masyarakat yang berlaku di negaranya yang menganggap bahwa perempuan tidak bisa lepas dari campur-tangan laki-laki dalam kehidupan seorang perempuan. Laki-laki akan selalu berperan dalam kehidupan seorang perempuan. Dia tidak menyangkal tradisi ini, yang dia inginkan hanya kemerdekaan dan kebebasan untuk berpikir. Dengan kata lain, sepandai dan seberhasil seorang perempuan Afgan namun dia tetap akan bergantung kepada sosok laki-laki. Seperti dalam kutipan berikut:
            Of course I understand that a woman cannot live in our culture without the protection of a man, be he her father, brother, or husband, because she has no existence on her own in society. I don’t refuse this protection – on the contrary – but I want my independence and my freedom of thought (2001: 85).

            Bagi Latifa, hidup yang selalu didampingi sosok seorang laki-laki bukan menjadi suatu masalah yang mengganggu asalkan dia memiliki kemerdekaan dan kebebasan berpikir. Kedua hal itulah yang utama bagi Latifa. Dia akan tetap bisa bebas berekspresi, beraktivitas dan bermain-main layaknya gadis remaja lain.
            Penderitaan demi penderitaan yang dia lihat sebagai akibat aturan paksa yang dibuat oleh Taliban bagi kaum perempuan di Afganistan semakin memuncak ketika ketidakadilan semakin sering dia jumpai di lingkungan tempat tinggalnya. Terlebih ketika kekerasan demi kekerasan makin menghebat dan menimbulkan jatuhnya banyak korban yang tidak berdosa. Ketidakadilan sekarang berada di hadapan Latifa. Hingga dia memutuskan untuk bertindak dan berjuang di bawah tanah. Ketiadaan sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak perempuan menyulut semangatnya untuk membagikan ilmu yang dia miliki.
            Sekolah rahasia ini pernah dijalankan oleh seorang mantan guru mereka, Mrs. Fawzia yang tertangkap oleh Taliban ketika sedang mengajar – tepat di tengah-tengah pelajaran. Pertama-tama, Taliban memukuli anak didik, kemudian memukul Mrs. Fawzia. Mereka melemparnya ke bawah tangga gedung dengan kasar sehingga ia mengalami patah kaki. Kemudian Taliban menyeret rambutnya dan memenjarakannya. Setelah itu, mereka memaksanya menandatangani pernyataan bahwa dia tidak akan melakukannya lagi, yang menunjukkan bahwa ia menghormati hukum Taliban. Mereka mengancam akan menghukum seluruh keluarganya dengan lemparan batu di depan publik jika ia tidak mengakui tindakannya sebagai sebuah kesalahan.
            Latifa sangat mengagumi sosok Mrs. Fawzia. Dia mengajarinya banyak hal ketika masih menjadi muridnya. Ketika mendirikan sekolah rahasia, Mrs. Fawzia sadar dengan apa yang ia lakukan dan resiko yang akan dia terima apabila ketahuan oleh pihak Taliban. Latifa ingin melanjutkan kebaikan-kebaikan yang sudah dilakukan oleh mantan guru yang dia hormati.
            Keberhasilan Latifa untuk melanjutkan perjuangan Mrs. Fawzia dengan an underground school bersama temannya, Farida tidak menyurutkan semangat dia untuk mengubah nasib dan keadaan. Terlebih ibunya adalah seorang perempuan modern yang juga seorang ahli ginekologi dan memiliki gelar tinggi, tidak dapat lagi mengabdikan diri untuk menemui pasien-pasien perempuan yang membutuhkan keahliannya di rumah sakit, dilanda depresi berkepanjangan. Adanya larangan bagi perempuan untuk bekerja di segala sektor dan juga perasaan tidak berdaya melihat dia tidak lagi bisa menolong para perempuan korban kekejaman Taliban membuat sang ibu merasa terpasung dengan keahlian yang mustinya dapat dipergunakan untuk menolong orang lain.
            Kesempatan untuk merepresentasikan penderitaan akibat kekejaman rezim Taliban dating kepada Dr. Sima, relasi sang ibu yang menjalankan layanan bedah di bawah tanah di Kabul dengan mengirim pesan kepada ibu Latifa. Dia mencari seorang perempuan untuk dapat pergi ke Paris dan berbicara tentang situasi di Afganistan. Sebuah majalah Perancis dan sebuah asosiasi di Perancis akan mulai melakukan kampanye.
            Dia ingin ada seorang perempuan Afgan yang dapat menjadi aspirator dan menyuarakan segala wujud ketertindasan perempuan Afgan atas kekejaman Taliban. Dr. Sima ingin Latifa memberikan kesaksian kepada dunia luar atas penderitaan perempuan Afgan dan juga tentang underground school yang dia jalankan sebagai usahanya untuk mengubah nasib perempuan Afgan yang terepresi. Berikut kutipan yang memperlihatkan kemauan Dr. Sima pada Latifa untuk menjalankan misi penting ke dunia luar:
            It would be good if latifa could go there to talk about what she’s seen, the way women are persecuted, the secret schools. Such testimony is the only way we can resist (2001: 247).

            Dorongan ibu dan kakak perempuan Latifa, Soraya yang luar biasa untuk menjadi key speaker bagi perempuan Afgan yang tertindas membuat Latifa memberanikan diri untuk keluar dari Afanistan dan ‘bersuara’ di depan publik.
            Keberanian Latifa untuk menjadi wakil bagi perempuan Afgan ini harus dia bayar dengan mahal, selain ayah dan ibu yang menyertainya ke Perancis, anggota keluarga yang lain masih menetap di Afgan mendapat ancaman yang sangat keras. Akibat yang lain adalah dia bersama orangtuanya tidak diperkenankan lagi untuk kembali ke Kabul. Identitas mereka telah diketahui oleh Taliban dan mengeluarkan ancaman untuk membunuh mereka. Harapan dan impian Latifa untuk menghilangkan segala represi atas nasib perempuan Afgan tidak pernah padam, salah satunya dengan menulis sebuah novel, My Forbidden Face yang menobatkannya menjadi Perempuan Internasional PBB 2002. Sebuah keberanian yang sungguh luar biasa, yang menimbulkan decak kagum, keharuan dan patut diapresiasi oleh setiap orang di belahan bumi manapun.
            Munculnya gerakan perempuan seperti yang dilakukan Latifa merupakan bentuk perlawanan sosial-budaya sekaligus perlawanan terhadap struktur sosial masyarakat yang terlanjur mapan dengan menempatkan kedudukan perempuan di bawah kedudukan laki-laki. Gugatan atas perilaku hegemoni kaum laki-laki tersebut mengarah pada penolakan situasi negatif (diskriminasi gender) yang mengakibatkan posisi perempuan: 1) tersingkir dari pengambilan keputusan, 2) terpinggirkan dari proses ekonomi, 3) mengalami pelecehan dan tindakan kekerasan, 4) menanggung beban yang berlebihan, dan 5) mengalami cap-cap sosial yang menungkinkan berlanjutnya situasi ketidakadilan gender.

Penggambaran Represi Perempuan oleh Relasi Patriarki dan Kekuasaan
            Ketika perempuan tidak lagi bisa menyuarakan kebebasan dan kemerekaan yang dimiliki, sejak saat itulah perempuan terepresi oleh kungkungan sistem dan tradisi. Dalam novel My Forbidden Face ini, perempuan terepresi oleh kekuasaan yang mengatasnamakan suatu agama tertentu yang cenderung bertindak berdasarkan relasi patriarki. Perempuan hanya diperbolehkan berada di ranah domestik dengan tidak diperbolehkannya mereka bekerja, bersekolah, dan segala bentuk kegiatan yang dilakukan di luar rumah. Hanya kaum laki-laki yang dianggap paling berhak berada di ranah publik. Kaum laki-laki dapat dengan bebas bepergian ke luar rumah, bekerja, dan melakukan segala aktivitas lain.
            Larangan-larangan bagi kaum perempuan ini apabila dilanggar akan menimbulkan konsekuensi yang luar biasa. Taliban tidak segan-segan untuk membunuh, menyiksa bahkan melakukan tindakan brutal yang di luar batas kemanusiaan. Latifa sering menyaksikan para perempuan yang menjadi korban kekejaman Taliban ketika mereka datang berobat ke klinik bedah bawah tanah milik sang ibu. Hal pertama yang dia jumpai adalah ketika mendapati seorang janda datang ke rumahnya dengan wajah yang sembab, bibir bengkak dan berdarah disertai luka-luka di dada dan punggungnya. Perempuan ini hanyalah salah satu contoh korban ketidakadilan hukum Taliban. Dia terpaksa harus keluar rumah karena tidak ada lagi orang laki-laki di rumahnya, namun pihak Taliban tidak peduli. Yang mereka pikirkan, perempuan ini melanggar aturan yang mereka perbuat hingga patut mendapat deraan sikasaan dari mereka. Berikut kutipan yang menggambarkan keterangan dari seorang perempuan yang memperoleh perlakuan kejam dari Taliban:
            “My father was killed during the fighting of the winter of 1994. I have no husband, no brother, no so. How can I help going out alone (2001: 88).

            Metode baru yang lebih kejam Taliban lakukan untuk makin merepresi para perempuan Afgan untuk menunjukkan superioritas mereka. Perbuatan yang sungguh biadab ini semakin membuka mata hati dan batin Latifa atas tindakan kejahatan terhadap perempuan.
            Suatu ketika ibu Latifa kedatangan tiga orang perempuan muda yang berusia antara lima belas-enam belas tahun. Latifa belum menyadari apa penderitaan ketiga perempuan yang sebaya dengannya ketika melihat ketiganya telungkup di lantai dan menangis pelan di dalam chadri mereka. Salah satu dari mereka bergerak-gerak sambil memegangi perutnya. Gambaran ketiga perempuan ini semakin melekat dalam benak Latifa ketika sang ibu meceritakan peristiwa luar biasa yang sanggup membuat orang trenyuh, sedih, menangis pilu bahkan mungkin juga dendam dan marah atas perlakuan yang telah mereka terima dari tentara Taliban. Berikut kutipan yang menunjukkan salah satu represi Taliban terhadap perempuan Afgan:
            They’re about your age, Latifa, fifteen or sixteen… Some talibs captured them during their offensive on the Shamali Plain, aband of about fifteen me. They raped them. All fifteen men. It’s revolting, but ….that’s not all, they … mutilated their genitals, they sore them (2001: 91).

            Dari kutipan di atas kita dapat melihat bahwa tindakan perkosaan belumlah cukup bagi Taliban untuk merepresi perempuan Afgan, mereka bertindak lebih sadis dengan melakukan mutilasi terhadap alat kelamin mereka. Suatu tindakan yang tidak patut dilakukan oleh suatu rezim yang mengatasnamakan agama tertentu dan merasa dirinya adalah wakil Tuhan yang dapat memperlakukan perempuan tanpa melihat hak-hak asasi yang dimiliki.

Penutup
            Sebagai penutup dari tulisan ini, representai Latifa sebagai seorang perempuan Afgan yang memperjuangkan nasib perempuan di negerinya yang terepresi bertahun-tahun dari beberapa kali kolonialisme dan rezim yang berkuasa dapat membuka cakrawala kita bahawa masih banyak perempuan lain yang terintimidasi oleh relasi kuasa yang berujung pada sistem patriarki. Nasib perempuan dalam novel ini tak ubahnya selalu menjadi victim dari perjuangan yang tak pernah ada akhir. Kebebasan dan kemerdekaan yang terenggut dengan paksa tanpa bisa memberikan perlawanan yang berarti.
            Represi demi represi digambarkan cukup menyentuh dan membuat kita sadar bahwa kebebasan untuk bersuara, berekspresi dan beraktivitas adalah suatu hal yang sungguh bernilai, priceless dan mahal harganya bagi perempuan Afgan. Tradisi dan identitas budaya yang melekat dan berakar dengan kuat menajdi salah satu pemicu keterbelengguan mereka dari segala macam bentuk represi yang seharusnya tak pernah ada.
            Konflik antar etnis yang berlangsung di suatu Negara berimbas pada rakyat sipil, perempuan dan anak-anak. Mereka adalah kelompok terbesar yang sangat terepresi dari segala efek dan kekejaman akibat pertikaian yang tak pernah berujung. Relasi kuasa yang didominasi oleh ideologi patriarki semakin melibas posisi dan peran mereka. Mereka hanya kaum terpinggirkan dan tersubordinasi oleh kekuasaan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.





Acuan
 Agarwal, Bina. 1996. A Field One’s Own: Gender and Land Rights in South Asia. New Delhi: Cambridge University Press.

Amal, Siti Hidayati. 1992. Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis Permasalahan Wanita dalam Indonesia Journal Of Social & Cultural Anthropology. No. 50 Th. XIV. Sep-Des. Jakarta.

Bhasin, Kamla. 2000. Understanding Gender. Kali Primaries.
Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1997. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Latifa. 2001. My Forbidden Face. Growing Up Under the Taliban: A Young Woman’s Story. Translated by Linda Coverdale. USA.

Mohanty, Chandra Talpade. 2005. Feminisme sebagai Wacana Kolonial dalam Perempuan Multikultural: Negoisasi dan Representasi. Jakarta: Desantara.
Murniati, A. Nunuk P, 2004. Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga. Buku Kedua. Magelang: Indonesia Tera.

Sahardin, Rosnani. 2002. Sudahkah Status Perempuan Itu Berubah? dalam Perempuan di Wilayah Konflik, Jurnal Perempuan Ed. 24. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Daftar Situs Web yang dipunggah:


[1] Gerakan Taliban atau Taleban adalah gerakan nasionalis Islam Sunni pendukung Pashtun yang secara efektif menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan sejak 1996 sampai 2001. Kelompok ini mendapat pengakuan diplomatik hanya dari 3 negara: Uni Emirat Arab, Pakistan dan Arab Saudi serta pemerintah Republik Checnya Ichkeria yang tidak diakui dunia. Anggota-anggota paling berpengaruh dari Taliban, termasuk Mullah Mohammed Omar, pemimpin gerakan ini, adalah Mullah desa (pelajar yunior agama Islam), yang sebagian besar belajar di madrasah di Pakistan. Gerakan ini terutama berasal dari Pashtun di Afganistan serta Provinsi Perbatasan Barat Laut (Nort-West Frontier Province, NWFP) di Pakistan, dan juga mencakup banyak sukarelawan dari Arab, Eurasia serta Asia Selatan. Pemerintahan Taliban digulingkan oleh Amerika Serikat karena dituduh melindungi pemimpin Al Qaeda Osama Bin Laden yang dituduh Washington mendalangi serangan terhadap menara kembar, WTC, New York pada tanggal 11 september 2001. Invasi ini dimulai pada bulan Oktober sampai dengan bulan November 2002 dengan secara mengejutkan pihak Taliban langsung keluar dari Ibukota Afganistan, Kabul sehingga pihak Amerika Serikat relative cepat dan mudah menguasai, dipunggah dari http://id.wikipedia.org/wiki/Taliban, 31 Maret 2010.
[2] Disarikan dari Latifa. A Brief Chronology dalam My Forbidden Face (New York: 2001, 279-283).
[3] Bina Agarwal, A Field of One’s Own: Gender and Land Rights in South Asia (New Delhi: Cambridge University Press, 1996: 51).
[4] Kamla Bhasin, Memahami Gender (Jakarta: TePLOK PRESS, 2002: 36).
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: 1997: 324).
[6] Siti Hidayati Amal. Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis Permasalahan Wanita dalam Indonesian Journal of Social & Cultural Anthropology No. 50 Th. XIV, Sep-Des 1992).
[7] Soenarjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003: 30).

Kajian Struktural Cerpen “Setyapani” Karya Roidah


Kajian Struktural Cerpen “Setyapani”
Karya Roidah


Hiqma Nur Agustina, SS, M. Si, M. Hum.
Staf Pengajar FKIP Universitas Islam Syekh Yusuf, Tangerang


Abstrak
Salah satu jenis karya sastra yang tidak pernah lekang oleh waktu adalah cerita pendek (short story). Bentuknya yang singkat, pendek dan tidak memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikannya menjadi pilihan pembaca. Terlebih ketika penulis cerpen tersebut mampu menggoreskan tulisan penanya dengan luwes dalam menuturkan tokoh, plot atau alur cerita, konflik yang terjadi di antara para tokoh serta tempat berlangsungnya peristiwa (setting) maka makin menambah daya tarik dari cerpen tersebut.

Tulisan ini mengetengahkan sebuah cerita pendek yang berjudul “Setyapani” karya Roidah, salah satu penulis perempuan di Indonesia yang mencoba mengungkapkan konflik batin berupa rasa cemburu seorang perempuan bernama Nin terhadap calon suaminya, Mas Bur. Sebuah permasalahan yang cukup sering dijadikan topik cerita namun tetap memiliki daya tarik apabila si penulis mampu menampilkan alasan di balik kecemburuan Nin terhadap calon suaminya tersebut.


I. Pendahuluan
I. 1. Latar Belakang

            Cerita pendek atau cerpen makin diminati oleh penikmat sastra dari mulai usia anak-anak Sekolah Dasar hingga usia dewasa. Bertambahnya pembaca salah satu jenis karya sastra ini dikarenakan makin beragamnya cerita, topik dan tema, segmen pasar yang dituju, bahkan yang juga tidak kalah menarik adalah makin bermunculannya para penulis baru yang menambah semarak khasanah kesusasteraan di tanah air. Sebuah perkembangan yang cukup signifikan dan patut diapresiasi. Terlebih lagi ketika cerpen-cerpen tersebut tidak hanya menyuguhkan aneka cerita yang cukup bervariatif sebagai pengisi waktu luang para pembacanya namun juga dapat memberikan penyegaran yang bersifat rohaniah. Semacam penyejuk jiwa dan pencerahan yang dapat membuka mata hati dan kesadaran pembaca untuk berbuat lebih baik.
Tidak jarang cerita yang dilukiskan dalam cerpen tersebut merupakan refleksi dari kisah-kisah nyata yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini. Sebuah penggambaran yang cukup menarik dikala masyarakat kita sedang jenuh dilanda beraneka persoalan pelik dari mulai pertikaian di antara elit politik, anggota dewan, kasus korupsi, penggelapan pajak, skandal bank, perselingkuhan tokoh masyarakat dan lain sebagainya. Dari beragamnya persoalan yang mengemuka dewasa ini turut mengilhami para penulis untuk menuangkannya dalam buah karya mereka.
            Salah satu nama penulis perempuan yang memiliki karya yang bagus adalah Roidah. Sejumlah cerpen Roidah memiliki tema cerita yang cukup menarik dan bahkan sering menampilkan persoalan remeh-temeh yang kerap terjadi dalam keseharian kita namun tetap menarik untuk dikaji.

I. 2. “Setyapani” karya Roidah
            “Setyapani” mengisahkan tentang kecemburuan seorang perempuan bernama Nin terhadap almarhum istri calon suaminya, Mas Bur. Mas Bur berniat untuk menjadikan Nin istrinya, namun dia meminta foto Setyapani tetap terpajang di dinding rumah mereka. Nin bersikeras menolak dan berniat menggagalkan rencana pernikahannya. Setelah mengetahui alasan yang sebenarnya mengapa Mas Bur tetap bersikukuh dan memohon kerelaan Nin atas sikapnya, maka Nin sadar dan mau menerima.

I. 3. Sumber Data
            “Setyapani” adalah sebuah cerpen karya penulis perempuan Roidah yang termuat dalam kumpulan cerpennya “Pembantu dan Pelacur”. Kegiatan tulis-menulis dan jurnalistik memang sudah tidak asing baginya, karena semenjak di bangku kuliah dia sudah aktif sebagai staf redaksi buletin kampus dan pernah mengikuti berbagai pelatihan, baik jurnalistik maupun kehumasan (2005: 157-158).

I. 4. Masalah
Sesuai dengan judul yang diberikan pada penelitian ini yang berkaitan dengan analisis struktural maka penulis merumuskan permasalahan seperti berikut:
Bagaimanakah hubungan sintagmatik (in praesentia), paradigmatik (in absentia), dan verbal dari cerpen Setyapani?

I. 5. Landasan Teori
            Metode penelitian yang dipergunakan dalam menganalisa cerpen ini adalah metode struktural yang mengatakan bahwa setiap unsur dalam suatu karya sastra selalu fungsional, selalu berkaitan dengan dan membentuk suatu kesatuan utuh. Ada beberapa teori yang akan dipergunakan dalam analisis berikut ini yang memakai dasar metode ini, antara lain dari Todorov dan Barthes. Barthes membedakan dua kelompok unsur yang terdapat dalam suatu karya naratif berdasarkan hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik (Barthes: 1966).
            Unsur sintagmatik adalah unsur yang muncul satu persatu dalam satu urutan. Hubungan sintagmatik juga terdapat dalam peristiwa-peristiwa, baik yang membentuk fungsi utama yang disebut peristiwa inti, maupun dalam peristiwa-peristiwa yang berfungsi mengisi atau mendukung fungsi utama, yang disebut katalisator.
            Unsur paradigmatik adalah unsur yang tersebar dan bersifat pilihan. Unsur-unsur paradigmatik merupakan keterangan-keterangan tokoh yang disebut indeks, dan latar yang disebut informan.
            Aspek verbal yang dibicarakan dari Todorov adalah berupa penuturan atau sudut pandang dan tuturan. Sudut pandang adalah peristiwa-peristiwa yang membentuk dunia fiktif yang tidak dikemukakan kepada kita sebagaimana aslinya, tetapi menurut sudut pandang tertentu (Todorov: 1985). Perlu dikemukakan bahwa sudut pandang dalam sastra tidak ada hubungannya dengan pandangan riil si pembaca, yang tetap bisa berlainan dan tergantung dari faktor-faktor di luar karya, melainkan suatu pandangan yang dikemukakan di dalam karya. Sedangkan tuturan adalah bagaimana cerita tersebut disajikan kepada pembaca.
            Mengenai kaitan sudut pandang dengan tokoh, Stanton (1965: 28) memberikan gambaran bahwa jika berusaha membayangkan pengalaman tokoh, pembaca harus mengerti sudut pandangnya. Demikian juga jika berusaha mengerti pengalaman tokoh, pembaca harus menghayati sudut pandang. Mengerti berbeda dengan menghayati. Pembaca harus mengerti tokoh dan secara sadar mengenali segala sesuatu yang memberikan corak pandangnya.
            Secara garis besar, sudut pandang dibedakan dalam dua macam, yaitu persona ketiga, third person, gaya “dia” dan persona pertama, first person, gaya “aku”. Sudut pandang persona ketiga meliputi: (1) “dia” mahatahu, yaitu cerita dikisahkan dari sudut “dia”, narator dapat menceritakan berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, tindakan, motivasi “dia”. Narator mengetahui segalanya dan bersifat mahatahu (omniscient), (2) “Dia” terbatas, yaitu pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir dan dirasakan oleh tokoh cerita, tetapi terbatas pada seorang tokoh saja (Stanton: 1965: 26) atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas (Abrams via Nurgiyantoro, 2000: 259).
            Sudut pandang persona pertama meliputi: (1) “Aku” tokoh utama, yaitu si “Aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya. Si “Aku” yang menjadi tokoh utama cerita praktis menjadi tokoh protagonis. Keterbatasan tokoh “Aku” untuk menjangkau tokoh dan peristiwa lain di luar dirinya dianggap sebagai kelemahan teknik ini, (2) “Aku” tokoh tambahan, yaitu tokoh “Aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan tokoh tambahan, first person peripheral (Nurgiyantoro, 2000: 262-266).
            Kalau kita berbicara mengenai penuturan maka kita akan berhubungan dengan pencerita atau penutur. Pencerita adalah pelaku semua pekerjaan membangun cerita. Pencerita yang mengemukakan prinsip-prinsip dasar penilaian, dialah yang menyembunyikan atau mengutarakan pikiran para tokoh.

2. Analisis
2. 1. Analisis Sintagmatik
            Dalam bagian ini yang dianalisis adalah rangkaian peristiwa dalam cerpen Setyapani dengan menyusun urutan peristiwa atau Satuan Isi Cerita berdasarkan penyajiannya.

2. 1. 1. Satuan Isi Cerita Cerpen Setyapani
1. Rencana keberangkatan Nin ke Dumai dan keberatan Mas Bur atas kepergiannya.
2. Ketidaksiapan Mas Bur untuk melepas bayangan Setyapani semakin mempercepat kepergian Nin.
3. Rasa benci Nin terhadap Setyapani dan rasa takut yang tidak beralasan.
4. Gambaran Setyapani yang berada dalam benak Nin.
5. Lamaran dari pria lain namun Nin tetap memilih Mas Bur menjadi calon suaminya dan kenyataan Setyapani yang sudah meninggal.
6. Permintaan Mas Bur agar foto Setyapani tetap ada di rumahnya dan ketidakrelaan Nin melihat foto Setyapani tetap tergantung di rumah Mas Bur.
7. Rencana Nin untuk membatalkan pernikahan dan berangkat ke Dumai untuk memenuhi tawaran Rasti bekerja di sana.
8. Prasangka Nin bahwa Mas Bur tidak lagi menganggap dan memperhatikan dirinya.
9. Kekecewaan Nin atas perilaku Mas Bur di suatu siang yang terik.
10. Ketakutan Nin akan kehilangan Mas Bur ketika dia tidak kunjung datang untuk mencegah kepergian dirinya.
11. Pengandaian Nin apabila tidak pernah ada Setyapani dalam hati Mas Bur.
12. Telepon berdering di rumah kontrakan Nin dan ternyata dari Rasti yang menanyakan kepastian kepergiannya.
13. Kekesalan Nin makin meluap dalam menantikan Mas Bur.
14. Perubahan keinginan dan cita-cita Nin dari seorang perempuan pekerja keras dan mementingkan karir menjadi perempuan rumahan, siap dikekang dan hidup sebagaimana perempuan kampung yang menetap apabila dia menikah dengan Mas Bur.
15. Kedatangan Mas Bur di rumah kontrakan Nin.
16. Prasangkan Nin terhadap Mas Bur.
17. Cerita sebenarnya tentang rahasia di balik kematian Setyapani yang disembunyikan Mas Bur.
18. Pengorbanan Setyapani untuk membela Mas Bur dari perampok yang datang ke rumahnya dan usahanya untuk memperoleh anak.
19. Kesadaran Nin muncul setelah mendengar cerita Mas Bur tentang Setyapani.
20. Kesediaan Nin untuk menerima Mas Bur apa adanya dan bersedia menikah dengannya.

            Dari satuan isi cerita di atas, dapat diketahui bahwa hubungan sintagmatik dalam cerpen ini adalah: pernikahan Mas Bur dengan Setyapani tidak kunjung mendapat buah hati namun Setyapani bersedia mengorbankan segala aktivitasnya demi memperoleh anak antara lain dengan: menarik diri dari organisasi dan karirnya bahkan membatalkan diri untuk mengambil beasiswa S2 semata-mata untuk memberi keturunan bagi suaminya
              Kehidupan tetap berjalan sampai pada suatu ketika datang perampok yang bermaksud untuk mengambil uang hasil penjualan mobil mereka yang sebenarnya ingin mereka alihkan ke bentuk wiraswasta           Namun malang tidak dapat ditolak dua orang perampok yang bertubuh besar menodong mereka dengan pisau
Sebagai seorang laki-laki dan suami seharusnya Mas Bur-lah yang melindungi istrinya dari todongan pisau perampok       Namun, realitanya Mas Bur malah memilih bersembunyi di kamar untuk menghindari perampok       Setyapani dengan gagah berani menyongsong dan menghalangi perampok yang bermaksud untuk menusukkan pisau ke suaminya        Akibatnya, pisau lengket di tengah-tengah perutnya, persis di depan tubuh sang suami        Peristiwa ini sangat membekas dalam ingatan Mas Bur sehingga dia selalu dihantui perasaan bersalah atas kematian sang istri. Sebagai wujud rasa bersalahnya, Mas Bur tidak kuasa menggeser foto Setyapani dari rumahnya meskipun Setyapani sudah tiada       Mas Bur berkenalan dengan Nin dan memutuskan untuk mengajaknya menikah
Nin cemburu dan meminta foto Setyapani tidak lagi dipasang di rumah Mas Bur karena dia tidak mau bersaing dengan orang yang sudah meninggal      Mas Bur tidak membeberkan alasan yang sebenarnya tentang kematian istrinya        Nin mengancam akan pergi ke Dumai jika Mas Bur tetap bersikeras untuk mempertahankan foto almarhumah istrinya       Mas Bur akhirnya membeberkan rahasia kematian Setyapani dan rasa bersalahnya karena telah menjadi suami pengecut         Nin akhirnya sadar dan menganggap Setyapani adalah seorang istri dan perempuan yang berjiwa ‘seluas samudera’          Nin menerima lamaran Mas Bur.



2. 2. Analisis Paradigmatik dalam Cerpen Setyapani
            Dalam analisis paradigmatik berikut ini yang akan dibahas adalah keterangan-keterangan tentang identitas, peran dan keadaan tokoh. Tokoh yang akan dibicarakan adalah tokoh yang menonjol dalam analisis sintagmatik, yaitu Setyapani, Mas Bur dan Nin. Karena yang dikaji dalam makalah ini adalah cerita pendek maka tokoh-tokoh yang terlibat hanya terdiri dari beberapa orang saja yang tentu saja berlainan dengan novel yang terdiri atas banyak tokoh.
            Dalam kaitannya dengan keseluruhan cerita, peranan setiap tokoh tidak sama. Ada tokoh yang dapat digolongkan sebagai tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh yang dapat digolongkan sebagai tokoh tambahan. Stanton (1965: 17) berpendapat bahwa hampir setiap cerita mempunyai tokoh sentral, yaitu tokoh yang berhubungan dengan setiap peristiwa dalam cerita. Lebih jelas lagi, Nurgiyantoro (2000: 176) menjelaskan bahwa tokoh sentral atau tokoh utama adalah tokoh yang mempunyai keutamaan dalam cerita.
            Sedangkan dilihat dari fungsi penampilan, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang merupakan perwujudan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal bagi kita (Alterbend & Lewis via Nurgiyantoro, 2000: 178). Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan-harapan pembaca. Di pihak lain, tokoh penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik bersifat lahir maupun batin. Apabila terdapat dua tokoh yang berlawanan, tokoh yang lebih banyak diberi kesempatan untuk mengemukakan visinya itulah yang kemungkinan besar memperoleh simpati dan empati dari pembaca sehingga disebut tokoh protagonis (Luxemburg, dkk via Nurgiyantoro: 2000: 178-180).

2. 2. 1. Indeks Cerpen Setyapani
Dalam cerpen Setyapani terdapat tiga indeks yang berperan dalam cerita, yaitu:
1. Indeks Setyapani
            Setyapani digambarkan sebagai sosok istri yang sabar, aktif berorganisasi, penyayang, pemberani, sangat mencintai suami, rela berkorban demi suami walau harus mengorbankan nyawa untuk menghadapi perampok yang datang di rumahnya, walaupun dari segi fisik Setyapani bukanlah sosok yang menarik. Dalam cerpen ini Setyapani bukanlah tokoh utama, melainkan hanya tokoh sekunder yang berperan sebagai tokoh protagonis.
            Sebagai tokoh kedua protagonis, Setyapani cukup memiliki peran dalam cerita ini karena dia menjadi bahan perbandingan bagi si tokoh utama, Nin untuk merebut hati Mas Bur, suami dari Setyapani.

2. Indeks Nin
            Nin digambarkan sebagai seorang perempuan yang tidak sabar, egois, mementingkan kepentingan dirinya sendiri, berkemauan kuat, mandiri dan seorang pekerja yang ulet. Nin adalah tokoh utama atau sentral dalam cerpen ini, yaitu tokoh yang berhubungan dengan setiap peristiwa dalam cerita. Dari awal sampai akhir Nin selalu hadir. Hal ini dapat dilihat dari satuan isi cerita di nomor: 1, 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 14, 16, 19 dan 20.
            Apabila dilihat dari fungsi penampilan, maka Nin tergolong sebagai tokoh antagonis, yaitu tokoh penyebab terjadinya konflik. Dia beroposisi dengan tokoh-tokoh protagonis dalam cerita. Dengan keinginannya untuk menyingkirkan foto Setyapani di dinding rumah calon suaminya dia berkonflik dengan Mas Bur yang tetap bersikeras memajang foto almarhumah istrinya di rumahnya. Padahal Nin tidak mengetahui alasan yang melatarbelakangi kenapa Mas Bur bersikeras dengan keinginannya.

3. Indeks Mas Bur
            Mas Bur digambarkan sebagai seorang laki-laki yang karismatik namun sebagai seorang suami yang pengecut, lemah, tidak berani, penakut dan lebih memilih sembunyi di belakang istrinya ketika perampok dating menyatroni rumahnya. Sebagai akibatnya, sang istri yang maju melawan perampok dan tewas tertusuk pisau yang dipegang oleh perampok. Peranan Mas Bur dalam cerpen ini adalah sebagai tokoh kedua protagonis lainnya. Untuk menebus rasa bersalah terhadap sang istri, dia merasa tidak sanggup untuk mencopot foto almarhumah istrinya dari dinding rumah mereka.
            Selain keterangan tentang tokoh, unsur paradigmatik berikut ini adalah tentang unsur latar. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam dua unsur pokok, yaitu tempat dan waktu. Kedua unsur tersebut walaupun masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain.
            Latar tempat adalah tentang lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro: 2000: 133). Latar yang terdapat dalam cerita pendek ini tidak terlalu banyak dan cenderung sederhana. Sederhana dalam arti mengingat cerita ini berbentuk cerita pendek yang terdiri dari tujuh halaman yang tentu saja berbeda dengan latar yang biasa muncul dalam sebuah novel.
            Latar tempat yang mendominasi cerpen ini terjadi di rumah kontrakan Nin. Hal ini dapat dilihat dari satuan isi cerita nomor: 12 dan 15. Sehingga dapat disimpulkan bahwa latar tempat berada di ruang tertutp. Sedangkan latar waktu adalah siang hari yang dapat dilihat dari satuan isi cerita nomor 9.
Tema dalam cerpen ini adalah tentang pengorbanan dan wujud cinta yang besar dari seorang istri, Setyapani terhadap suaminya, Bur. Sehingga dia rela mengorbankan apa saja seperti menarik diri dari organisasi, karir yang dia rintis, hingga membatalkan diri untuk mengambil beasiswa S2 demi serius ingin hamil dan memberi suaminya keturunan bahkan sampai mengorbankan nyawa demi melindungi suaminya yang tidak berani menghadapi perampok yang datang ke rumahnya.

2. 3. Aspek Verbal dalam Cerpen Setyapani
            Dalam analisis verbal berikut ini yang dibahas adalah tentang penuturan atau sudut pandang dan tuturan. Penuturan yang tampak dalam cerpen Setyapani ini adalah penuturan atau sudut pandang persona pertama, yaitu aku-an. “Aku” sebagai tokoh utama, yaitu si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dia alami. Aku di sini adalah tokoh Nin.
            Tokoh “aku” di dalam cerpen ini secara eksplisit adalah tokoh Nin yang mengisahkan berbagai peristiwa, perasaan dan tingkah laku yang dia alami. Keterbatas tokoh “aku” untuk menjangkau tokoh dan peristiwa lain di luar dirinya dianggap sebagai kelemahan teknik ini. Tuturan dari cerpen ini terdapat adegan flashback, yaitu ketika tokoh Mas Bur mengungkapkan latar belakang kematian istrinya kepada tokoh utama, Nin.
            Ada dua cerita yang terjadi, cerita yang pertama dari cerpen ini dimulai dengan perkawinan Setyapani dan Mas Bur namun tidak kunjung mendapat keturunan walaupun Setyapani sudah banyak mengorbankan karir, pekerjaan dan rencana-rencana yang sudah dia susun seperti mengambil beasiswa S2. Di tengah kebahagiaan mereka, tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan dua orang perampok di rumahnya. Perampok ini mendengar mereka berdua telah menjual mobil dan bermaksud merampok hasil penjualan mobil tersebut. Padahal sebenarnya uang tersebut akan dipergunakan untuk tambahan modal memperluas usaha. Karena Mas Bur tidak memiliki nyali untuk menghadapi perampok maka Setyapani yang menjadi korban. Dia meninggal di tangan perampok demi melindungi sang suami. Cerita pertama ini berfungsi sebagai cerita utama, sedangkan cerita yang kedua adalah cerita tambahan yaitu perkenalan Mas bur dengan Nin. Terjadi konflik di antara mereka berdua karena Mas Bur bersikeras tetap akan memasang foto almarhumah istrinya walaupun kelak mereka akan menikah. Namun pada akhirnya konflik mereda setelah Mas Bur menceritakan rahasia kematian istrinya yang sebenarnya dan Nin bersedia menjadi istri Mas Bur. Di akhir cerita Nin menganggap Setyapani adalah seorang perempuan dan istri yang luar biasa, yang mengorbankan apa saja demi kebahagiaan suaminya.

3. Penutup
            Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa dalam cerpen “Setyapani” ditemukan pemaknaan dari hubungan sintagmatik, paradigmatik dan verbal. Dari hubungan sintagmatik, cerpen ini jelas memiliki hubungan sebab-akibat dari peristiwa yang tersusun dalam cerita. Dan dari hubungan paradigmatik, kedua tokohnya memiliki peran protagonis dan seorang tokohnya berperan sebagai tokoh antagonis. Jika dilihat dari segi verbal, penuturan yang ada adalah penutur persona pertama, first person, gaya aku. Sedangkan untuk tuturan, dalam cerpen ini terdapat adegan kilas balik (flashback).
            Dari segi latar tempat, cerpen ini berlatar tertutup dan ruangnya terbatas yaitu di rumah kontrakan Nin. Sedangkan latar waktu adalah siang hari sebelum keberangkatan tokoh utama, Nin ke Dumai. Hal ini ditandai dengan deskripsi pada kalimat “angin semilir berhembus tidak mampu menahan langkahku menyongsong panas terik di luar”. Langkahku di sini menjelaskan tentang langkah tokoh utama cerpen ini, Nin ketika dia keluar dari rumah calon suaminya, Mas Bur menjelang keberangkatannya ke Dumai.
            Tema yang sangat menonjol dalam cerpen ini adalah pengorbanan seorang istri terhadap suami yang dia cintai walau untuk itu dia harus mengorbankan nyawanya sendiri.

Acuan
Sumber Primer:
Roidah. 2005. Setyapani dalam kumpulan Cerpen “Pembantu dan Pelacur”. Yogyakarta: Labuh.

Sumber Sekunder:
Barthes, Roland. 1966. Introduction a l’ Analyse Structural des Recits, dalam Communication 8. Paris: Seuil.
Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen & Co. Ltd.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Retnaningsih, Aning. 1965. Roman dalam Masa Pertumbuhan Kesusasteraan Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Sofia, Adib & Sugihastuti. 2003. Feminisme dan Sastra. Bandung: Katarsis.
Stanton, Robert. 1965. An Introduction to Fiction. New York: Holt, Rinehart and Winston Inc.
Teew, A., Prof. Dr. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.  
Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra. Jakarta: Penerbit Djambatan.




















Rabu, 04 Juli 2012

An Analysis of Meaning of Wordsworth’s Poem Strange Fits of Passion Have I Known



An Analysis of Meaning of Wordsworth’s Poem Strange Fits of Passion Have I Known


Hiqma Nur Agustina, SS, M. Hum, M. Si.
Dosen Tetap Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UNIS – Tangerang


Abstrak

Pembahasan tentang puisi selalu menarik untuk dikaji. Beragam tema, pesan, gaya bahasa, nada, irama dan arti mewarnai sebuah puisi. Tulisan singkat ini mengetengahkan puisi William Wordsworth yang bertajuk Strange Fits of Passion Have I Known, dengan gaya penyampaian yang sederhana namun memiliki makna yang erat berkaitan dengan romantika percintaan yang menjadi santapan kita sehari-hari. Ada beberapa hal yang penulis kaji berkaitan dengan puisi ini untuk memberikan gambaran singkat tentang puisi Inggris ini dari segi interpretation, theme, image, tone, figurative language, rhythm dan meaning. Semoga tulisan ini mampu menggugah pembaca untuk bisa lebih memahami puisi dan memaknai setiap kata indah di dalamnya!


Key words: interpretation, theme, image, tone, figurative language, rhythm, meaning


I. Introduction
A. Background of study
            Poetry is a kind of language that says more and more intensely than ordinary language does. A poem is composed with the desire to communicate an experience especially one expressing deep feeling or noble thought in beautiful language.
            Poetry has a pattern that gives us pleasure as we listen to it. Poets repeat and echo sounds to please our ears. They also use these effects to hold our attention and mirror or reinforce the meaning word have rhythm or beat, as well as sound, and the rhythm of poetry is usually more regular than we hear in ordinary language. Often a poem is divided into sections of lines that follow the same pattern of sound and rhythm, so that we quickly learn the pattern as we read or listen, and enjoy knowing what to expect.
            The importance of poetry does not only lie on the pleasure it gives the readers when they read it or listen to it, but also on the value of life implied in it. Poetry has been regarded as something central to each man’s existence, something having unique value to fully realized life, something that he is better off for having and spiritually impoverished without (Literature: Structure, Sound, and Sense, p. 554).
            The Wordsworth’s poem Strange Fits of Passion Have I Known is chosen by the writer because this is a beautiful and interesting poem. Though this poem is very simple, it is an expression of one’s feeling and one’s experience. Through its simplicity there lies a precious life teaching.
            William Wordsworth, the poet of Strange Fits of Passion Have I Known is an English Romantic poet. He was born in Cockermouth Westmoreland. He grew up among the woods and lakes and mountains of the Wortwestern part of England. Therefore, all of his poems always describe natural scene. Wordsworth believed that nature is the great teacher of moral, and the prime bringer of happiness.
            William Wordsworth was a chief voice of new romantic movement. He laid down the new principles of Romantic poetry; those are:
1. The language of poetry is the language of ordinary men and women
2. Poetry is an expression of one own feeling
3. Nature is the source of beauty
4. Human mind is part of nature
            All William Wordsworth’s poem reflected all this principles. Some of his works are Strange Fits of Passion Have I Known, She Dwelled Among The Untrodden Ways, The Solitary Reaper, Lines Composed A Few Miles Above Tintern Abbey, It is a Beauteous Evening, Calm and  FreeA Poet’s Epitaph, and Matthew.

B. Problem Formulation
            This writing is going to analyze the meaning of the poem which is the basic life of teaching.

C. Objective of Study
            The meaning can be grasped through the theme, the image, the tone, the figurative language, and the rhythm of the poem.


D. Definition of Term
            The terms that are used in this writing are:
1.      Theme is the idea or thought that stays in our minds when we think about the meaning of the work as a whole (The Literary Heritage, p. 733).
2.      Tone is the writer’s or speaker’s attitude toward his subject, his audience, or himself (Literature: Structure, Sound and Sense, p. 702).
3.      Image is the representation through language of sense experience (Literature: Structure, Sound and Sense, p. 599).
4.      Figurative language
-          Simile:  a comparison using the words like or as. It says outright that something is like something else.
5.      Rhythm is systematical stressing or accenting words and syllables.

E. Urgency of Study
            The purpose of the writer analyzing the Wordsworth’s poem Strange Fits of Passion Have I Known are:
  1. To enrich the study of poem
  2. To grasp the life teaching of the poet that is expressed impliedly through the poem

II. Analysis
A. Poem

                                    STRANGE FITS OF PASSION HAVE I KNOWN

Strange fits of passion have I known:
And I will dare to tell,
But in the lover’s ear alone,
What once to me befell.

When She I loved looked every day
Fresh as a rose in June,
I to her cottage bent my way,
Beneath an evening moon.
Upon the moon I fixed my eye,
All over the wide lea;
With quickening pace my horse drew night
Those paths so dear to me.
And now we reached the orchard-plot;
And, as we climbed the hill,
The sinking moon to Lucy’s cot
Came dear, and nearer still

In one of those sweet dreams I slept,
Kind Nature’s gentlest boon!
And all the while my eyes I kept
On the descending moon.

My horse moved on; hoof after hoof
He raised, and never stopped:
When down behind the cottage roof,
At once, the bright moon dropped.

What fond and wayward thoughts will slide
Into a lover’s head!
“O mercy!” to myself I cried,
“If Lucy should be dead!”

B. Analysis of Meaning of Wordsworth’s Poem: Strange Fits of Passion Have I Known
            Wordsworth’s poem Strange Fits of Passion Have I Known is a romantic poem. This poem, like most of other Romantic poem, has an idea of ‘Love’. This poem really reflects Wordsworth’s principles of romantic literary work. It expresses Wordsworth’s own feeling and passion. He really praises the nature very much by giving such a nature scene. The language in this poem is very simple.
a. Interpretation
            Like many of Wordsworth’s poem, this poem start with some remembered events. In the first stanza, the poet tells that he wants to tell the reader about his experience, the passion of love he ha. He addresses this poem to everybody who is falling in love.
            Strange fits of passion have I known:
            And I will dare to tell,
            But in the lover’s ear alone,
            What once to me befell.

The third line of the first stanza uses a phrase ‘the lover’s ear alone to say a fallen love person. This first stanza is a kind of introduction of the poet’s theme which is one’s passion of love.
            The second stanza is the beginning of the poet’s story about his experience when he is in a journey of visiting his beloved girl friend. Here, he uses simile to describe the beauty of his lover. He compares his lover to a fresh rose that blooms in June.
            When She I loved looked every day
            Fresh as a rose in June,

            The last line of the second stanza gives us the hint of the setting of time. The person here is talking his journey to his lover’s cottage in the evening when the moon is above the sky.
            I to her cottage bent my way,
            Beneath an evening moon.

            The third stanza tells us the person’s journey to his lover’s cottage by riding a horse. He passes through the path that he recognizes very much on an open wide grass land. Then the fourth stanza tells us that the person almost reaches his girl’s friend cottage. The fifth stanza shows us how the person is full of passion at meeting his lover. The first two lines of the fifth stanza show us the passion of the person toward seeing his lover. He is very patient to see her.

            In one of those sweet dreams I slept
            Kind nature’s gentlest boon!

            In the sixth stanza the person has reached his lover’s cottage after long journey. He no longer sees the moon sides behind the cottage. The seventh stanza tells us that there is a little thought of scary of losing his girl friend crosses the man;s mind.
            “Oh Mercy!” to myself I cried,
            “If Lucy should be dead!’

            The rhythm of these two lines shows us the emotion of the person. The stresses that are given to ‘O‘ and ‘Mercy’ indicates the person’s scary. He does not want to lose his lover.

b. Theme
            Through the interpretation we can grasp the theme. The theme of this poem is about one’s passion of love. From the title and the first stanza we can predict that this poem is about love. It is about the poet’s experience of being in love and it is also about the passion that the poet has when he is in love.

c. Image
            Since the second stanza to the sixth stanza, the poet offers us a visual image of beautiful nature’s view. He describes his imagination such a beautiful way and he makes his imagination roam to other beautiful images.
            Upon the moon I fixed my eyes,
            All over the wide lea;
            With quickening pace my horse drew night
            Those paths so dear to me

            This stanza takes us to a beautiful scene which the poet has once experience before. Here we can see a wide open grass land with the moon above it and there are paths which is so dear to the poet on the grass land.
            The poet also offers us a kinetic image. He describes how his horse moves and takes him to his lover’s cottage.
            My horse moved on; hoof after hoof
            He raised, and never stopped:

d. Tone
            The tone of the poet is sympathy and passionate. We can see him very sympathy and passionate through the event. How he described the poem through the lyrics made the reader getting involved with the tone.

e. Figurative language
            Since Wordsworth believed in the principles of a new ideal of naturalness and simplicity, he avoids everything artificial and merely conventional. He believed in the language of ordinary men and women. Therefore, this poem has no difficult diction that is difficult to understand by the reader.
            This poem has no symbol, connotation, metonymy, allusion, the diction has merely denotation. The poet emphasizes his tone, his visual image by using simile, personification and metaphore. Therefore, this poem seems so alive, as in:
            * When She I loved looked every day
               Fresh as a rose in June
            * The sinking moon to Lucy’s cot
               Came near, and nearer still
            * But in the lover’s ear alone

f. Rhythm
            The rhythm that the poem use is like Waltzing rhythm. From the first stanza to the sixth stanza the rhythm is almost similar. This indicates that there is a constant. He uses iambic tetrameter for every first line of each stanza.
            The rhythm he offers us to emphasize his emotion in this poem. The calmness of the rhythm show the poet’s sympathy and the last stanza of the poem give us a clear hint of the poet’s passion.

g. Meaning
            The meaning of this poem is that every falling in love person will be filled of passion and desire to see his or her lover. The love that he or she has will guide him or her to break every obstacle that hints his or her relationship. Love will make one sacrifice for his or her lover. Just like the person in the poem who is willing to have long journey to see his lover. The feeling afraid of loosing the one he or she loves will always occur at any time, the way the person in the poem is afraid of losing his lover.
            Being afraid of losing someone whom he loved describes clearly in his poem. Through the beauty of lyrics, Wordsworth asked us to enjoy the journey of loving. Loving means people are entirely sacrificing for the lover. It is seen toward every step that the writer wrote. This poem taught us to be wise, patient and keep struggling to realize the immortal of love. That is the hardest part of human being who need love to balance their routine task. No one can live with meaningless love, but people will have spirit to build their life by being love and to love somebody.

III. Conclusion
            Wordsworth’s poem Strange Fits of Passion Have I Known is one of the Romantic poems. This poem like many other Romantic poems has an idea of love and nature. This poem is the most popular of Wordsworth’s poem, is a reflection of his own passion.
            This poem is about the passion of love of the poet when he is falling in love with a woman. Here he is willing to have a long journey to see his lover. The poet’s experience, as it expressed in this poem is the same as any other falling in love expressed in this poem is the same as any other falling in love person who is full of love and beautiful dream of his lover. Talking about love poem is always attract the art lover, because life without love is empty, meaningless and full of sadness. Moreover, in many Wordsworth’s poem always reflect about this everlasting theme, love. Love is reflected about romance, joy of loving couple and lover and how one surrenders or sacrifices to his lover. Even this poem has such ordinary idea but still people are curious to find the meaning inside. The more we are searching the meaning, the larger idea and thought we can get through it.
            Furthermore, the power of love always inspires human being to be mature, to control emotion, to struggle every challenge to pursue the joy in life. Some people think that talking about love always arise the curiosity, the huge basic knowledge surrounding people’s desire. Love is always become the interesting part in human being’s life, because love become the greatest part that cannot be neglected. Finally, love will give great impact to someone who is fulfilled with love because the power of love can change one’s life.

References
Guth, Hans P., The literary Heritage, General Editor and Senior Author. Massachutes: Lexington.
Perrine, Laurence. 1974. Literature: Structure, Sound and Sense, Second Edition, New York:
Wilson, B. A., John Burgess. English Literature: A Survey for Students, British: Longman.