Representasi Perempuan Afghanistan
dalam novel My Forbidden Face dalam
kaitannya dengan relasi gender
Hiqma Nur Agustina,
M. Si, M. Hum.
Staf Pengajar FKIP Universitas
Islam Syekh-Yusuf, Tangerang
Abstrak
Dewasa ini banyak novel karya penulis
perempuan yang berani mengungkapkan represi dan ketertindasan perempuan oleh
sistem patriarki, dari mulai yang sedikit gamblang hingga ke ekspresi nyata dan
brutal yang dialami dan dirasakan perempuan sebagai akibat deraan tekanan
psikis dan fisik yang mereka alami. Novel-novel hasil goresan pena para penulis
perempuan tersebut mengedepankan sisi ketimpangan relasi gender yang makin
tampak mengemuka saat ini.
Tulisan ini mengetengahkan
representasi perempuan dunia ketiga yang mengalami represi yang diwakili oleh
sosok perempuan kuat dan tegar bernama Latifah. Dia mencoba menyuarakan
aspirasi kondisi perempuan di negaranya, Afganistan. Dia bertindak dalam
kapasitasnya sebagai representasi perempuan Afganistan yang tidak lagi memiliki
kebebasan dan terbelenggu dalam sistem dan pola pikir patriarki.
KATA KUNCI: gender, feminisme, representasi, identitas
budaya
Pengantar
My
Forbidden Face adalah sebuah novel yang cukup fenomenal karya Latifah,
sosok perempuan yang mendapat julukan Perempuan Internasional PBB 2002 yang mencoba
menjadi corong bagi perempuan-perempuan di negaranya. Dia mengetengahkan
peristiwa ketertindasan perempuan di Afganistan. Ketertindasan ini tidak hanya
berwujud fisik tetapi juga psikis. Fokus utama tulisan ini adalah untuk
menganalisis tokoh utama dalam novel tersebut dalam bersikap terhadap represi
yang dialaminya. Dia berjuang bersama kaum perempuan di dalam keluarganya
(kakak dan ibunya) serta perempuan Afganistan lain terhadap relasi gender yang
dilekatkan oleh rezim berkuasa di Afganistan.
Pada tahun 1959, misalnya, memakai
kerudung atau yang dikenal dengan istilah hijab
adalah menjadi sebuah pilihan bagi kaum perempuan. Perempuan diberi hak untuk
memilih pada tahun 1964. Peraturan-peraturan yang sifatnya memberi kemerdekaan
dan kebebasan bagi perempuan untuk turut berpartisipasi di ranah publik
terbukti membuka kesempatan yang luas bagi perempuan. Nam un semua
kebebasan yang dirasakan tersebut akan berganti dengan sebuah sistem yang tidak
pernah mereka duga sebelumnya.
Di awal sebelum terbentuknya sistem
Republik, Afganistan adalah sebuah negara yang menganut sistem monarki yang
dipimpin oleh Raja Mohammad Zahir Shah, yang kemudian digulingkan oleh Mohamad
Daud. Ia membentuk Republik Afganistan dan bertindak sebagai Presiden
Afganistan yang pertama. Hal ini tidak berlangsung lama karena pada bulan April
1978, kudeta membuat Afganistan menjadi Republik Kedua yang Komunis dengan Noor
Mohammad Taraqi sebagai presiden dan Hafizullah Amin sebagai perdana menteri.
Reformasi yang dipaksakan terhadap masyarakat
Afgan yang sebagian besar masih tradisional, memicu pemberontakan rakyat. Pada
umumnya, mereka berkarakter Islam yang berusaha untuk menggoyahkan rezim.
Kolonialisasi terjadi semenjak kedatangan Inggris dan Rusia di Afganistan.
Penjajahan tersebut berhasil diakhiri dengan perjanjian Kabul yang isinya mengakhiri kekuasaan
Inggris dan Rusia yang mengklaim berkuasa atas Afganistan. Pada Desember 1979,
intervensi militer Soviet mulai beraksi di Afganistan. Intervensi ini merupakan
awal bagi kolonialisasi kedua di Afganistan.
Pejuang Mujahidin melancarkan
gerilya melawan Soviet dan pasukan Afgan yang berada di bawah kontrolnya.
Perang ini memakan waktu yang cukup lama, yaitu sepuluh tahun. Campur tangan
PBB untuk menghentikan perang ini diwujudkan melalui Penandatanganan Perjanjian
Jenewa antara Pemerintah Kabul, Uni
Sovyet , Pakistan
dan Amerika. Hal ini berkaitan dengan waktu penarikan mundur tentara Soviet
dari Afganistan.
Banyak orang meramalkan kedamaian
yang dapat segera dirasakan oleh penduduk Afgan. Akan tetapi, hal ini tidak
terbukti. Setelah proses evakuasi tentara Soviet selesai, muncul perang saudara
baru di kalangan Mujahidin dari berbagai kelompok etnik, terutama Tajik di
bawah Ahmed Shah Massoud dan Pashtun di bawah Gulbuddin Hekmatyar.
Yang
perlu dicatat disini, meskipun perang saudara ini meletus, perempuan masih
memiliki kemerdekaan dan haknya untuk tetap bisa bekerja, bersekolah,
menyelenggarakan aktivitas sehari-hari. Dengan kata lain, kaum perempuan masih
bisa berlega hati untuk menjalankan aktivitas rutin mereka walaupun di bawah
desingan peluru dan bom yang berjatuhan. Nafas kehidupan dan kemerdekaan masih
bisa mereka rasakan.
Kehidupan
mereka berubah total ketika di bulan April 1992, Mujahidin pimpinan Massoud
mengambil alih Kabul .
Negara Islam Afganistan diproklamasikan. Sebghatullah Mudjaddedi menjadi
presiden selama dua bulan yang kemudian digantikan Burhanuddin Rabbani pada
bulan Juni. Perang saudara berkecamuk lagi, antara kekuatan di bawah Komandan
Massoud melawan kekuatan Islam ekstrim yang didukung oleh Pakistan . Taliban[1]
meraih kemenangan pertamanya di Selatan ketika mereka berhasil menguasai Kandahar tahun 1994.[2]
Semenjak
kemunculan Taliban dengan dukungan Pakistan dan Arab Saudi, kehidupan
perempuan Afgan bagaikan tidak pernah terlepas dari kekejaman. Kemerdekaan
mereka diambil paksa, kebebasan bersuara tidak lagi mereka dapatkan. Mereka
menjadi tawanan di rumah mereka sendiri. Taliban benar-benar merepresi dan
melarang perempuan berkiprah di ranah domestik. Memakai kerudung adalah sebuah
kewajiban, yang tidak lagi bisa ditawar dan berharga mutlak. Yang lebih parah
mereka dipaksa untuk memakai chadri
(burqa) dan dilarang ke luar rumah tanpa disertai muhrim.
Chadri adalah pakaian panjang yang
hampir keseluruhan lipatannya menjuntai ke tanah dengan sebuah topi menutupi
bagian kepala dengan bagian yang paling menakutkan adalah lubang-lubang kecil
di sekitar mata dan hidung. Perempuan yang dulunya bisa bekerja, bersekolah,
menentukan pilihan hidupnya sekarang tidak bisa lagi. Tindakan perkosaan,
penyiksaan dari skala ringan hingga brutal bahkan pembantaian masal dilakukan
oleh Taliban untuk menunjukkan kekuasaan mereka.
Berdasarkan
kondisi yang sungguh luar biasa dalam merepresi kaum perempuan Afgan membuat
Latifa, tokoh utama sekaligus penulis novel My
Forbidden Face berusaha memberikan kesaksian bagi dunia luar tentang
kekejaman rezim Taliban terhadap kaum perempuan di negaranya. Dia menuangkan
kesaksian, kekejaman dan represi tersebut ke dalam sebuah novel yang luar
biasa, My Forbidden Face. Tulisan ini
disusun dengan menggunakan relasi gender dan teori Feminis untuk mempertajam
analisis.
My
Forbidden Face karya Latifa
My
Forbidden Face adalah sebuah novel yang ditulis oleh Latifa yang juga
berperan sebagai tokoh utama yang memberikan kesaksian terhadap kekejaman dan
ketertindasan perempuan Afgan oleh rezim Taliban. Latifa adalah anak keempat
dari sebuah keluarga yang modern. Ayah dan ibunya memberikan kebebasan bagi
setiap anaknya untuk memilih dan menentukan pendidikan. Latifa memiliki bakat
di bidang jurnalistik. Menjelang ujian tes masuk sekolah jurnalistik, Taliban
datang di negeri yang aman dan damai tersebut. Segala impian, cita-cita dan
harapan yang sudah terlanjur dia susun menjadi musnah.
Dia terpaksa berdiam diri di rumah
tanpa bisa melakukan hal berarti termasuk juga ibu dan kakak-kakak
perempuannya. Sang ibu tumbuh dalam iklim modern yang membuatnya bisa
memperoleh ijazah keperawatan dan bekerja sebagai ahli bidang ginekologi di
rumah sakit Kabul .
Kakak perempuan pertamanya, Chakila telah menikah dan pindah di rumah mertuanya
di Peshawar , Pakistan . Kakak ketiganya, Soraya
adalah seorang pramugari di maskapai Air Ariana. Ayah Latifa sendiri membuka usa ha di komplek pertokoan Kabul , namun akhirnya hanya bisa mengandalkan
tabungan karena toko yang dia bangun dengan susa h-payah
musnah karena ledakan bom.
Sebagai perempuan muda yang
menginginkan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, Latifa sempat mengalami
depresi yang berat. Terlebih semenjak Taliban mengeluarkan dekrit yang berisi
larangan-larangan yang merepresi perempuan. Untuk menyimpan foto dan menden garkan musik
sebagai wujud hiburan tidak diperbolehkan, keluar rumah juga dilarang. Dari
sisi ini saja kita bisa melihat bagaimana Taliban benar-benar berusaha
menghancurkan Afganistan.
Diilhami oleh seorang mantan
gurunya, Latifa dan seorang temannya sepakat untuk membuka underground school, sekolah rahasia bagi anak-anak di rumahnya.
Pengalaman gurunya, Mrs. Fawzia yang disiksa karena ketahuan membuka sekolah
rahasia ini tidak menyurutkan minat Latifa. Berkat kecermatan, keberanian dan
dan kehati-hatiannya dalam bertindak, sekolah rahasia ini lolos dari pengamatan
Taliban. Demikian juga dengan usa ha
klinik rahasia ibunya yang dijalankan secara rahasia di rumah. Banyak pasien
wanita yang menjadi korban Taliban datang berobat dan mengunjunginya. Bahkan,
sampai ada tiga oran g wanita yang harus
dioperasi dengan peralatan sekadarnya karena mengalami perkosaan oleh lima belas oran g Taliban dan kemudian memotong alat genital mereka.
Sungguh perbuatan yang sangat biadab!
Kesempatan untuk menjadi perempuan
yang bisa menyuarakan represi dan kekejaman yang dilakukan Taliban ini datang
kepadanya ketika salah seorang relasi ibunya, Dr. Sima meminta Latifa untuk
pergi ke Perancis atas undangan majalah wanita Perancis. Latifa diharapkan
mampu mewakili dan menyuarakan nasib perempuan Afgan yang mengalami kekejaman
yang hebat tanpa bisa memberontak.
Ketika masa itu tiba, dengan
ditemani oleh kedua oran g
tua mereka berhasil tiba di Perancis dengan semangat untuk bisa mengubah nasib
dan keterpurukan perempuan di Afganistan. Perjuangan Latifa ini pada akhirnya
diketahui oleh rezim Taliban yang mengancam akan membunuh seluruh anggota
keluarganya yang masih berada di Afganistan. Oleh karena itu, untuk
menyelamatkan anggota keluarga yang masih bermukim di Afganistan, perempuan
muda hebat ini menggunakan nama samaran Latifa.
Relasi Gender
Menurut Agarwal (1996: 51), relasi
gender merujuk pada relasi kekuasaan di antara perempuan dan laki-laki, yang
diungkapkan dalam serangkaian praktek, ide, representasi, termasuk pembagian
kerja, peran, dan sumber penghasilan di antara perempuan dan laki-laki, serta
anggapan bahwa mereka memiliki kemampuan, sikap, keinginan, watak kepribadian,
dan sebagainya yang berbeda. Relasi gender dibentuk oleh dan membantu membentuk
praktek-praktek serta ideologi ini di dalam interaksi dengan struktur hierarki
sosial yang lain seperti kelas, kasta dan ras. Mereka dapat dilihat sebagian
besarnya sebagai konstruksi sosial (daripada ditentukan secara biologis), dan
dapat berubah sesuai waktu dan tempat.[3]
Sama halnya seperti gender, relasi
gender tidak sama dalam setiap masyarakat dan tidak pula statis di dalam
sejarah. Ia bersifat dinamis dan berubah sesuai waktu. Meskipun demikian,
seseorang dapat mengatakan bahwa dalam kebanyakan masyarakat relasi gender
bersifat timpang. Semua ini karena konstruksi sosial yang melekat di masyarakat
terlanjur mengasumsikan bahwa posisi perempuan berada di ranah domestik.
Perempuan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, mengasuh anak, melayani
suami dan kegiatan rumah tangga lain.
Pemahaman ini menimbulkan suatu
realita bahwa yang berhak berperan di dalam ranah domestik hanya laki-laki.
Secara teoritis, hierarki gender bisa berarti dominasi dari setiap gender,
tetapi di dalam praktik hal itu hampir selalu bermakna sebuah hierarki yang
mengutamakan kedudukan laki-laki mendominasi dan perempuan didominasi. Relasi
gender dengan demikian adalah relasi kekuasaan dan subordinasi dengan elemen
kerjasama, kekuatan dan kekerasan untuk mempertahankannya. Dominasi laki-laki
atau yang bersifat patriarkal merupakan pemahaman yang ada di masyarakat.[4]
Konstruksi
masyarakat tersebut melahirkan stereotipe yang memberikan citra dan celah bagi
laki-laki untuk melakukan diskriminasi dengan mengatasnamakan kebodohan,
kelemahan dan daya rasionalitas perempuan yang cenderung lemah yang secara
substansial merupakan logika penindasan atas perempuan. Perempuan dipahami
hanya sekedar bagian dari laki-laki, tersingkir dari pengambilan keputusan
(subordinasi) dan termajinalisasi dari proses ekonomi yang menciptakan suatu
ketidakadilan.
Gerakan Feminisme
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)[5], feminisme diartikan sebagai ‘gera kan wanita yang
menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria’. Istilah feminisme merupakan penggabungan
pelbagai doktrin hak-hak yang sama bagi perempuan. Feminisme diawali oleh ketimpangan relasi antara laki-aki dan
perempuan di masyarakat sehingga pada akhirnya timbul kesadaran dan upaya untuk
menghilangkan ketidaksetaraan dalam relasi ini.
Istilah feminisme sering disalahpahami. Yang dimaksud dengan istilah
tersebut mengacu pada gera kan
sosial (social movement) yang
dilakukan baik oleh kaum perempuan maupun laki-laki untuk meningkatkan
kedudukan dan peran kaum perempuan serta memperjuangkan hak-hak yang dimiliki
secara adil.
Berkaitan dengan itu, muncullah
istilah equal right’s movement atau gera kan persamaan hak.
Cara lain adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau
lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara ini sering dinamakan women’s liberation movement disingkat women’s lib atau women’s emancipation movement,
yaitu gera kan
pembebasan wanita.
Pada dasarnya feminisme merupakan
implementasi dari kesadaran untuk menciptakan keadilan gender dalam kerangka
demokratisasi dan HAM (Hak Asasi Manusia). Gerakan tersebut diperkirakan muncul
seiring dengan ideologi aufklarung (enlightment) yang muncul di Eropa pada abad
15-18. Gagasan yang dominan pada waktu itu adalah paham rasionalisme yang
ditandai dengan pemujaan akal, pikiran dan rasio. Ide rasionalis mempengaruhi
revolusi Perancis (1789-1793) dengan menggunakan slogan kebebasan dari
penindasan (liberte), pengakuan
terhadap persamaan hak (egalite) dan
semangat persaudaraan (fraternite)
sebagai semboyan untuk meruntuhkan rezim kerajaan yang otoriter yang digantikan
dengan kekuasaan republik yang menggunakan sistem demokrasi.[6]
Mary Wollstonecraft (203: 30),
perintis gera kan feminisme Inggris dalam A Vindication of the Rights of Woman
(Perlindungan Hak-hak Kaum Wa nita) yang ditulis di akhir abad ke-19
mengemukakan bahwa kaum wanita, khususnya dari kalangan menengah merupakan
kelas tertindas yang harus bangkit dari belenggu rumah tangga. Dalam masyarakat
patriarkal, perempuan dimasukkan ke dalam kubu rumah yang terbatas pada
lingkungan serta kehidupan di rumah, sedangkan laki-laki menguasai kubu umum,
yaitu lingkungan dan kehidupan di luar rumah.[7]
Perempuan seringkali berada dalam situasi
keterikatan. Keterikatan ini berarti ketidakmerdekaan perempuan sebagai manusia
dalam menentukan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sendiri. Situasi
ketidakadilan tersebut muncul karena struktur budaya yang dibuat oleh manusia.
Penokohan Latifa dalam novel My Forbidden Face
Sebagai penulis sekaligus tokoh
utama dalam novel My Forbidden Face,
Latifa adalah sosok perempuan muda Afgan yang merasa hidup dan kehidupannya
tercerabut dengan paksa oleh rezim berkuasa di negeri yang dia cintai. Di
tengah kondisi ketidakberdayaan untuk melawan himpitan represi, dia berjuang
untuk mengubah konstruksi gender yang sangat patriarkis. Impian dan harapan
gadis muda ini adalah menjadi seorang jurnalis. Bertepatan dengan akan
diikutinya tes ujian masuk sekolah jurnalisnya, Taliban datang dan
membentangkan kekuasaan yang sungguh di luar batas akal sehat manusia.
Hari-hari keterkungkungannya berdiam diri di rumah tanpa bisa melakukan sesuatu
yang bearrti membuat Latifa depresi, kehilangan semangat dan kepercayaan diri
untuk menggapai mimpi dan harapan yang dia angankan. Hal tersebut tampa k dalam kutipan
berikut:
The days are endless tunnels of
inactivity. I spend most of my times lying down in my room, staring at the
ceiling or reading. No more jogging in the morning, no more biking – I’m slowly
going to seed. No more English classes, or newspapers (2001: 57-58).
Peran Latifa sebagai pendobrak sistem
patriarki dari dominasi Taliban ini tidak semuanya menunjukkan kesadaran
sebagai perempuan yang mengerti akan hak-haknya. Ada ambivalensi yang terlihat ketika dia
tidak menolak sistem dan tradisi budaya masyarakat yang berlaku di negaranya
yang menganggap bahwa perempuan tidak bisa lepas dari campur-tangan laki-laki
dalam kehidupan seorang perempuan. Laki-laki akan selalu berperan dalam
kehidupan seorang perempuan. Dia tidak menyangkal tradisi ini, yang dia
inginkan hanya kemerdekaan dan kebebasan untuk berpikir. Dengan kata lain,
sepandai dan seberhasil seorang perempuan Afgan namun dia tetap akan bergantung
kepada sosok laki-laki. Seperti dalam kutipan berikut:
Of course I understand that a woman cannot live in our
culture without the protection of a man, be he her father, brother, or husband,
because she has no existence on her own in society. I don’t refuse this
protection – on the contrary – but I want my independence and my freedom of
thought (2001: 85).
Bagi Latifa, hidup yang selalu
didampingi sosok seorang laki-laki bukan menjadi suatu masalah yang mengganggu
asalkan dia memiliki kemerdekaan dan kebebasan berpikir. Kedua hal itulah yang
utama bagi Latifa. Dia akan tetap bisa bebas berekspresi, beraktivitas dan
bermain-main layaknya gadis remaja lain.
Penderitaan demi penderitaan yang
dia lihat sebagai akibat aturan paksa yang dibuat oleh Taliban bagi kaum
perempuan di Afganistan semakin memuncak ketika ketidakadilan semakin sering
dia jumpai di lingkungan tempat tinggalnya. Terlebih ketika kekerasan demi
kekerasan makin menghebat dan menimbulkan jatuhnya banyak korban yang tidak
berdosa. Ketidakadilan sekarang berada di hadapan Latifa. Hingga dia memutuskan
untuk bertindak dan berjuang di bawah tanah. Ketiadaan sekolah-sekolah yang
diperuntukkan bagi anak-anak perempuan menyulut semangatnya untuk membagikan
ilmu yang dia miliki.
Sekolah rahasia ini pernah
dijalankan oleh seorang mantan guru mereka, Mrs. Fawzia yang tertangkap oleh
Taliban ketika sedang mengajar – tepat di tengah-tengah pelajaran.
Pertama-tama, Taliban memukuli anak didik, kemudian memukul Mrs. Fawzia. Mereka
melemparnya ke bawah tangga gedung dengan kasar sehingga ia mengalami patah
kaki. Kemudian Taliban menyeret rambutnya dan memenjarakannya. Setelah itu,
mereka memaksanya menandatangani pernyataan bahwa dia tidak akan melakukannya lagi,
yang menunjukkan bahwa ia menghormati hukum Taliban. Mereka mengancam akan
menghukum seluruh keluarganya dengan lemparan batu di depan publik jika ia
tidak mengakui tindakannya sebagai sebuah kesalahan.
Latifa sangat mengagumi sosok Mrs.
Fawzia. Dia mengajarinya banyak hal ketika masih menjadi muridnya. Ketika
mendirikan sekolah rahasia, Mrs. Fawzia sadar dengan apa yang ia lakukan dan
resiko yang akan dia terima apabila ketahuan oleh pihak Taliban. Latifa ingin
melanjutkan kebaikan-kebaikan yang sudah dilakukan oleh mantan guru yang dia
hormati.
Keberhasilan Latifa untuk
melanjutkan perjuangan Mrs. Fawzia dengan an
underground school bersama temannya, Farida tidak menyurutkan semangat dia
untuk mengubah nasib dan keadaan. Terlebih ibunya adalah seorang perempuan
modern yang juga seorang ahli ginekologi dan memiliki gela r tinggi, tidak dapat lagi mengabdikan
diri untuk menemui pasien-pasien perempuan yang membutuhkan keahliannya di
rumah sakit, dilanda depresi berkepanjangan. Ada nya
larangan bagi perempuan untuk bekerja di segala sektor dan juga perasaan tidak
berdaya melihat dia tidak lagi bisa menolong para perempuan korban kekejaman
Taliban membuat sang ibu merasa terpasung dengan keahlian yang mustinya dapat
dipergunakan untuk menolong oran g
lain.
Kesempatan untuk merepresentasikan
penderitaan akibat kekejaman rezim Taliban dating kepada Dr. Sima, relasi sang
ibu yang menjalankan layanan bedah di bawah tanah di Kabul dengan mengirim pesan kepada ibu
Latifa. Dia mencari seorang perempuan untuk dapat pergi ke Paris dan berbicara tentang situasi di Afganistan.
Sebuah majalah Perancis dan sebuah asosiasi di Perancis akan mulai melakukan
kampanye.
Dia ingin ada seorang perempuan
Afgan yang dapat menjadi aspirator dan menyuarakan segala wujud ketertindasan
perempuan Afgan atas kekejaman Taliban. Dr. Sima ingin Latifa memberikan
kesaksian kepada dunia luar atas penderitaan perempuan Afgan dan juga tentang underground school yang dia jalankan
sebagai usa hanya
untuk mengubah nasib perempuan Afgan yang terepresi. Berikut kutipan yang
memperlihatkan kemauan Dr. Sima pada Latifa untuk menjalankan misi penting ke
dunia luar:
It would be good if latifa could go there to talk
about what she’s seen, the way women are persecuted, the secret schools. Such
testimony is the only way we can resist (2001: 247).
Dorongan ibu dan kakak perempuan
Latifa, Soraya yang luar biasa untuk menjadi key speaker bagi perempuan Afgan yang tertindas membuat Latifa
memberanikan diri untuk keluar dari Afanistan dan ‘bersuara’ di depan publik.
Keberanian Latifa untuk menjadi
wakil bagi perempuan Afgan ini harus dia bayar dengan mahal, selain ayah dan
ibu yang menyertainya ke Perancis, anggota keluarga yang lain masih menetap di
Afgan mendapat ancaman yang sangat keras. Akibat yang lain adalah dia bersama
orangtuanya tidak diperkenankan lagi untuk kembali ke Kabul . Identitas mereka telah diketahui oleh
Taliban dan mengeluarkan ancaman untuk membunuh mereka. Harapan dan impian
Latifa untuk menghilangkan segala represi atas nasib perempuan Afgan tidak
pernah padam, salah satunya dengan menulis sebuah novel, My Forbidden Face yang menobatkannya menjadi Perempuan
Internasional PBB 2002. Sebuah keberanian yang sungguh luar biasa, yang
menimbulkan decak kagum, keharuan dan patut diapresiasi oleh setiap oran g di belahan bumi
manapun.
Munculnya
gerakan perempuan seperti yang dilakukan Latifa merupakan bentuk perlawanan
sosial-budaya sekaligus perlawanan terhadap struktur sosial masyarakat yang
terlanjur mapan dengan menempatkan kedudukan perempuan di bawah kedudukan
laki-laki. Gugatan atas perilaku hegemoni kaum laki-laki tersebut mengarah pada
penolakan situasi negatif (diskriminasi gender) yang mengakibatkan posisi
perempuan: 1) tersingkir dari pengambilan keputusan, 2) terpinggirkan dari
proses ekonomi, 3) mengalami pelecehan dan tindakan kekerasan, 4) menanggung
beban yang berlebihan, dan 5) mengalami cap-cap sosial yang menungkinkan
berlanjutnya situasi ketidakadilan gender.
Penggambaran Represi Perempuan oleh Relasi
Patriarki dan Kekuasaan
Ketika perempuan tidak lagi bisa
menyuarakan kebebasan dan kemerekaan yang dimiliki, sejak saat itulah perempuan
terepresi oleh kungkungan sistem dan tradisi. Dalam novel My Forbidden Face ini, perempuan terepresi oleh kekuasaan yang
mengatasnamakan suatu agama tertentu yang cenderung bertindak berdasarkan relasi
patriarki. Perempuan hanya diperbolehkan berada di ranah domestik dengan tidak
diperbolehkannya mereka bekerja, bersekolah, dan segala bentuk kegiatan yang
dilakukan di luar rumah. Hanya kaum laki-laki yang dianggap paling berhak
berada di ranah publik. Kaum laki-laki dapat dengan bebas bepergian ke luar
rumah, bekerja, dan melakukan segala aktivitas lain.
Larangan-larangan bagi kaum
perempuan ini apabila dilanggar akan menimbulkan konsekuensi yang luar biasa.
Taliban tidak segan-segan untuk membunuh, menyiksa bahkan melakukan tindakan
brutal yang di luar batas kemanusiaan. Latifa sering menyaksikan para perempuan
yang menjadi korban kekejaman Taliban ketika mereka datang berobat ke klinik
bedah bawah tanah milik sang ibu. Hal pertama yang dia jumpai adalah ketika
mendapati seorang janda datang ke rumahnya dengan wajah yang sembab, bibir
bengkak dan berdarah disertai luka-luka di dada dan punggungnya. Perempuan ini
hanyalah salah satu contoh korban ketidakadilan hukum Taliban. Dia terpaksa
harus keluar rumah karena tidak ada lagi oran g
laki-laki di rumahnya, namun pihak Taliban tidak peduli. Yang mereka pikirkan,
perempuan ini melanggar aturan yang mereka perbuat hingga patut mendapat deraan
sikasaan dari mereka. Berikut kutipan yang menggambarkan keterangan dari
seorang perempuan yang memperoleh perlakuan kejam dari Taliban:
“My father was killed during the fighting of the
winter of 1994. I have no husband, no brother, no so. How can I help going out
alone (2001: 88).
Metode baru yang lebih kejam Taliban
lakukan untuk makin merepresi para perempuan Afgan untuk menunjukkan
superioritas mereka. Perbuatan yang sungguh biadab ini semakin membuka mata
hati dan batin Latifa atas tindakan kejahatan terhadap perempuan.
Suatu ketika ibu Latifa kedatangan
tiga oran g perempuan muda yang berusia antara lima belas-enam belas
tahun. Latifa belum menyadari apa penderitaan ketiga perempuan yang sebaya
dengannya ketika melihat ketiganya telungkup di lantai dan menangis pelan di
dalam chadri mereka. Salah satu dari mereka bergerak-gerak sambil memegangi peru tnya.
Gambaran ketiga perempuan ini semakin melekat dalam benak Latifa ketika sang
ibu meceritakan peristiwa luar biasa yang sanggup membuat oran g trenyuh, sedih, menangis pilu bahkan
mungkin juga dendam dan marah atas perlakuan yang telah mereka terima dari
tentara Taliban. Berikut kutipan yang menunjukkan salah satu represi Taliban
terhadap perempuan Afgan:
They’re about your age, Latifa, fifteen or sixteen…
Some talibs captured them during their offensive on the Shamali Plain, aband of
about fifteen me. They raped them. All fifteen men. It’s revolting, but
….that’s not all, they … mutilated their genitals, they sore them (2001: 91).
Dari kutipan di atas kita dapat
melihat bahwa tindakan perkosaan belumlah cukup bagi Taliban untuk merepresi
perempuan Afgan, mereka bertindak lebih sadis dengan melakukan mutilasi
terhadap alat kelamin mereka. Suatu tindakan yang tidak patut dilakukan oleh
suatu rezim yang mengatasnamakan agama tertentu dan merasa dirinya adalah wakil
Tuhan yang dapat memperlakukan perempuan tanpa melihat hak-hak asasi yang
dimiliki.
Penutup
Sebagai penutup dari tulisan ini,
representai Latifa sebagai seorang perempuan Afgan yang memperjuangkan nasib
perempuan di negerinya yang terepresi bertahun-tahun dari beberapa kali
kolonialisme dan rezim yang berkuasa dapat membuka cakrawala kita bahawa masih
banyak perempuan lain yang terintimidasi oleh relasi kuasa yang berujung pada sistem
patriarki. Nasib perempuan dalam novel ini tak ubahnya selalu menjadi victim
dari perjuangan yang tak pernah ada akhir. Kebebasan dan kemerdekaan yang
terenggut dengan paksa tanpa bisa memberikan perlawanan yang berarti.
Represi demi represi digambarkan
cukup menyentuh dan membuat kita sadar bahwa kebebasan untuk bersuara, berekspresi
dan beraktivitas adalah suatu hal yang sungguh bern ilai, priceless
dan mahal harganya bagi perempuan Afgan. Tradisi dan identitas budaya yang
melekat dan berakar dengan kuat menajdi salah satu pemicu keterbelengguan
mereka dari segala macam bentuk represi yang seharusnya tak pernah ada.
Konflik antar etnis yang berlangsung
di suatu Negara berimbas pada rakyat sipil, perempuan dan anak-anak. Mereka
adalah kelompok terbesar yang sangat terepresi dari segala efek dan kekejaman
akibat pertikaian yang tak pernah berujung. Relasi kuasa yang didominasi oleh
ideologi patriarki semakin melibas posisi dan peran mereka. Mereka hanya kaum
terpinggirkan dan tersubordinasi oleh kekuasaan yang mengatasnamakan
kepentingan rakyat.
Acuan
Agarwal, Bina. 1996. A Field One’s Own: Gender and Land Rights in
South Asia. New Del hi :
Cambridge
University Press.
Amal, Siti Hidayati. 1992. Beberapa
Perspektif Feminis dalam Menganalisis Permasalahan
Wanita dalam Ind onesia Journal Of
Social & Cultural Anthropology. No. 50 Th. XIV. Sep-Des. Jakarta .
Bhasin, Kamla. 2000. Understanding Gender. Kali Primaries.
Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik
Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Ut ama.
Kamus Besar Bahasa Ind onesia .
1997. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Ut ama.
Latifa. 2001. My Forbidden
Face. Growing Up Under the Taliban: A Young Woman’s Story. Translated by Linda Coverdale. USA .
Mohanty, Chandra Talpade. 2005. Feminisme
sebagai Wacana Kolonial dalam Perempuan
Multikultural: Negoisasi dan Representasi. Jakarta : Desantara.
Sahardin, Rosnani. 2002. Sudahkah
Status Perempuan Itu Berubah? dalam Perempuan
di Wilayah Konflik, Jurnal
Perempuan Ed. 24. Jakarta :
Yayasan Jurnal Perempuan.
Daftar Situs
Web yang dipunggah:
http://id.wikipedia.org/wiki/Taliban,
31 Maret 2010
[1] Gerakan Taliban atau Taleban adalah gera kan nasionalis Islam Sunni pendukung Pashtun
yang secara efektif menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan sejak 1996
sampai 2001. Kelompok ini mendapat
pengakuan diplomatik hanya dari 3 negara: Uni
Emirat Arab, Pakistan
dan Arab Saudi serta pemerintah Republik Checnya Ichkeria yang tidak
diakui dunia. Anggota-anggota paling berpengaruh dari Taliban, termasuk Mullah Mohammed
Omar, pemimpin gera kan ini, adalah Mullah desa (pelajar yunior agama
Islam), yang sebagian besar belajar di madrasah
di Pakistan. Gera kan
ini terutama berasal dari Pashtun di Afganistan serta Provinsi Perbatasan Barat Laut (Nort-West Frontier
Province , NWFP) di
Pakistan, dan juga mencakup banyak sukarelawan dari Arab, Eurasia serta Asia Selatan. Pemerintahan Taliban
digulingkan oleh Amerika Serikat karena dituduh melindungi pemimpin Al Qaeda Osama Bin Laden yang dituduh Washington mendalangi serangan terhadap menara kembar,
WTC, New York
pada tanggal 11 september 2001. Invasi ini dimulai pada bulan Oktober sampai
dengan bulan November 2002 dengan secara mengejutkan pihak Taliban langsung
keluar dari Ibukota Afganistan, Kabul
sehingga pihak Amerika Serikat relative cepat dan mudah menguasai, dipunggah
dari http://id.wikipedia.org/wiki/Taliban,
31 Maret 2010.
[3] Bina
Agarwal, A Field of One’s Own: Gender and
Land Rights in South Asia (New Delhi: Cambridge University Press, 1996:
51).
[6] Siti
Hidayati Amal. Beberapa Perspektif
Feminis dalam Menganalisis Permasalahan Wanita dalam Indonesian Journal of
Social & Cultural Anthropology No. 50 Th. XIV, Sep-Des 1992).
[7]
Soenarjati Djajanegara, Kritik Sastra
Feminis: Sebuah Pengantar (Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003: 30).