Minggu, 08 Juli 2012

Representasi Perempuan Afghanistan dalam novel My Forbidden Face dalam kaitannya dengan relasi gender


Representasi Perempuan Afghanistan dalam novel My Forbidden Face dalam kaitannya dengan relasi gender

Hiqma Nur Agustina, M. Si, M. Hum.
Staf Pengajar FKIP Universitas Islam Syekh-Yusuf, Tangerang

Abstrak
Dewasa ini banyak novel karya penulis perempuan yang berani mengungkapkan represi dan ketertindasan perempuan oleh sistem patriarki, dari mulai yang sedikit gamblang hingga ke ekspresi nyata dan brutal yang dialami dan dirasakan perempuan sebagai akibat deraan tekanan psikis dan fisik yang mereka alami. Novel-novel hasil goresan pena para penulis perempuan tersebut mengedepankan sisi ketimpangan relasi gender yang makin tampak mengemuka saat ini.

Tulisan ini mengetengahkan representasi perempuan dunia ketiga yang mengalami represi yang diwakili oleh sosok perempuan kuat dan tegar bernama Latifah. Dia mencoba menyuarakan aspirasi kondisi perempuan di negaranya, Afganistan. Dia bertindak dalam kapasitasnya sebagai representasi perempuan Afganistan yang tidak lagi memiliki kebebasan dan terbelenggu dalam sistem dan pola pikir patriarki.

KATA KUNCI:  gender, feminisme, representasi, identitas budaya

Pengantar
            My Forbidden Face adalah sebuah novel yang cukup fenomenal karya Latifah, sosok perempuan yang mendapat julukan Perempuan Internasional PBB 2002 yang mencoba menjadi corong bagi perempuan-perempuan di negaranya. Dia mengetengahkan peristiwa ketertindasan perempuan di Afganistan. Ketertindasan ini tidak hanya berwujud fisik tetapi juga psikis. Fokus utama tulisan ini adalah untuk menganalisis tokoh utama dalam novel tersebut dalam bersikap terhadap represi yang dialaminya. Dia berjuang bersama kaum perempuan di dalam keluarganya (kakak dan ibunya) serta perempuan Afganistan lain terhadap relasi gender yang dilekatkan oleh rezim berkuasa di Afganistan.
            Pada tahun 1959, misalnya, memakai kerudung atau yang dikenal dengan istilah hijab adalah menjadi sebuah pilihan bagi kaum perempuan. Perempuan diberi hak untuk memilih pada tahun 1964. Peraturan-peraturan yang sifatnya memberi kemerdekaan dan kebebasan bagi perempuan untuk turut berpartisipasi di ranah publik terbukti membuka kesempatan yang luas bagi perempuan. Namun semua kebebasan yang dirasakan tersebut akan berganti dengan sebuah sistem yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
            Di awal sebelum terbentuknya sistem Republik, Afganistan adalah sebuah negara yang menganut sistem monarki yang dipimpin oleh Raja Mohammad Zahir Shah, yang kemudian digulingkan oleh Mohamad Daud. Ia membentuk Republik Afganistan dan bertindak sebagai Presiden Afganistan yang pertama. Hal ini tidak berlangsung lama karena pada bulan April 1978, kudeta membuat Afganistan menjadi Republik Kedua yang Komunis dengan Noor Mohammad Taraqi sebagai presiden dan Hafizullah Amin sebagai perdana menteri.
            Reformasi yang dipaksakan terhadap masyarakat Afgan yang sebagian besar masih tradisional, memicu pemberontakan rakyat. Pada umumnya, mereka berkarakter Islam yang berusaha untuk menggoyahkan rezim. Kolonialisasi terjadi semenjak kedatangan Inggris dan Rusia di Afganistan. Penjajahan tersebut berhasil diakhiri dengan perjanjian Kabul yang isinya mengakhiri kekuasaan Inggris dan Rusia yang mengklaim berkuasa atas Afganistan. Pada Desember 1979, intervensi militer Soviet mulai beraksi di Afganistan. Intervensi ini merupakan awal bagi kolonialisasi kedua di Afganistan.
            Pejuang Mujahidin melancarkan gerilya melawan Soviet dan pasukan Afgan yang berada di bawah kontrolnya. Perang ini memakan waktu yang cukup lama, yaitu sepuluh tahun. Campur tangan PBB untuk menghentikan perang ini diwujudkan melalui Penandatanganan Perjanjian Jenewa antara Pemerintah Kabul, Uni Sovyet, Pakistan dan Amerika. Hal ini berkaitan dengan waktu penarikan mundur tentara Soviet dari Afganistan.
            Banyak orang meramalkan kedamaian yang dapat segera dirasakan oleh penduduk Afgan. Akan tetapi, hal ini tidak terbukti. Setelah proses evakuasi tentara Soviet selesai, muncul perang saudara baru di kalangan Mujahidin dari berbagai kelompok etnik, terutama Tajik di bawah Ahmed Shah Massoud dan Pashtun di bawah Gulbuddin Hekmatyar.
Yang perlu dicatat disini, meskipun perang saudara ini meletus, perempuan masih memiliki kemerdekaan dan haknya untuk tetap bisa bekerja, bersekolah, menyelenggarakan aktivitas sehari-hari. Dengan kata lain, kaum perempuan masih bisa berlega hati untuk menjalankan aktivitas rutin mereka walaupun di bawah desingan peluru dan bom yang berjatuhan. Nafas kehidupan dan kemerdekaan masih bisa mereka rasakan.
Kehidupan mereka berubah total ketika di bulan April 1992, Mujahidin pimpinan Massoud mengambil alih Kabul. Negara Islam Afganistan diproklamasikan. Sebghatullah Mudjaddedi menjadi presiden selama dua bulan yang kemudian digantikan Burhanuddin Rabbani pada bulan Juni. Perang saudara berkecamuk lagi, antara kekuatan di bawah Komandan Massoud melawan kekuatan Islam ekstrim yang didukung oleh Pakistan. Taliban[1] meraih kemenangan pertamanya di Selatan ketika mereka berhasil menguasai Kandahar tahun 1994.[2]
Semenjak kemunculan Taliban dengan dukungan Pakistan dan Arab Saudi, kehidupan perempuan Afgan bagaikan tidak pernah terlepas dari kekejaman. Kemerdekaan mereka diambil paksa, kebebasan bersuara tidak lagi mereka dapatkan. Mereka menjadi tawanan di rumah mereka sendiri. Taliban benar-benar merepresi dan melarang perempuan berkiprah di ranah domestik. Memakai kerudung adalah sebuah kewajiban, yang tidak lagi bisa ditawar dan berharga mutlak. Yang lebih parah mereka dipaksa untuk memakai chadri (burqa) dan dilarang ke luar rumah tanpa disertai muhrim.
Chadri adalah pakaian panjang yang hampir keseluruhan lipatannya menjuntai ke tanah dengan sebuah topi menutupi bagian kepala dengan bagian yang paling menakutkan adalah lubang-lubang kecil di sekitar mata dan hidung. Perempuan yang dulunya bisa bekerja, bersekolah, menentukan pilihan hidupnya sekarang tidak bisa lagi. Tindakan perkosaan, penyiksaan dari skala ringan hingga brutal bahkan pembantaian masal dilakukan oleh Taliban untuk menunjukkan kekuasaan mereka.
Berdasarkan kondisi yang sungguh luar biasa dalam merepresi kaum perempuan Afgan membuat Latifa, tokoh utama sekaligus penulis novel My Forbidden Face berusaha memberikan kesaksian bagi dunia luar tentang kekejaman rezim Taliban terhadap kaum perempuan di negaranya. Dia menuangkan kesaksian, kekejaman dan represi tersebut ke dalam sebuah novel yang luar biasa, My Forbidden Face. Tulisan ini disusun dengan menggunakan relasi gender dan teori Feminis untuk mempertajam analisis.

My Forbidden Face karya Latifa
            My Forbidden Face adalah sebuah novel yang ditulis oleh Latifa yang juga berperan sebagai tokoh utama yang memberikan kesaksian terhadap kekejaman dan ketertindasan perempuan Afgan oleh rezim Taliban. Latifa adalah anak keempat dari sebuah keluarga yang modern. Ayah dan ibunya memberikan kebebasan bagi setiap anaknya untuk memilih dan menentukan pendidikan. Latifa memiliki bakat di bidang jurnalistik. Menjelang ujian tes masuk sekolah jurnalistik, Taliban datang di negeri yang aman dan damai tersebut. Segala impian, cita-cita dan harapan yang sudah terlanjur dia susun menjadi musnah.
            Dia terpaksa berdiam diri di rumah tanpa bisa melakukan hal berarti termasuk juga ibu dan kakak-kakak perempuannya. Sang ibu tumbuh dalam iklim modern yang membuatnya bisa memperoleh ijazah keperawatan dan bekerja sebagai ahli bidang ginekologi di rumah sakit Kabul. Kakak perempuan pertamanya, Chakila telah menikah dan pindah di rumah mertuanya di Peshawar, Pakistan. Kakak ketiganya, Soraya adalah seorang pramugari di maskapai Air Ariana. Ayah Latifa sendiri membuka usaha di komplek pertokoan Kabul, namun akhirnya hanya bisa mengandalkan tabungan karena toko yang dia bangun dengan susah-payah musnah karena ledakan bom.
            Sebagai perempuan muda yang menginginkan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, Latifa sempat mengalami depresi yang berat. Terlebih semenjak Taliban mengeluarkan dekrit yang berisi larangan-larangan yang merepresi perempuan. Untuk menyimpan foto dan mendengarkan musik sebagai wujud hiburan tidak diperbolehkan, keluar rumah juga dilarang. Dari sisi ini saja kita bisa melihat bagaimana Taliban benar-benar berusaha menghancurkan Afganistan.
            Diilhami oleh seorang mantan gurunya, Latifa dan seorang temannya sepakat untuk membuka underground school, sekolah rahasia bagi anak-anak di rumahnya. Pengalaman gurunya, Mrs. Fawzia yang disiksa karena ketahuan membuka sekolah rahasia ini tidak menyurutkan minat Latifa. Berkat kecermatan, keberanian dan dan kehati-hatiannya dalam bertindak, sekolah rahasia ini lolos dari pengamatan Taliban. Demikian juga dengan usaha klinik rahasia ibunya yang dijalankan secara rahasia di rumah. Banyak pasien wanita yang menjadi korban Taliban datang berobat dan mengunjunginya. Bahkan, sampai ada tiga orang wanita yang harus dioperasi dengan peralatan sekadarnya karena mengalami perkosaan oleh lima belas orang Taliban dan kemudian memotong alat genital mereka. Sungguh perbuatan yang sangat biadab!
            Kesempatan untuk menjadi perempuan yang bisa menyuarakan represi dan kekejaman yang dilakukan Taliban ini datang kepadanya ketika salah seorang relasi ibunya, Dr. Sima meminta Latifa untuk pergi ke Perancis atas undangan majalah wanita Perancis. Latifa diharapkan mampu mewakili dan menyuarakan nasib perempuan Afgan yang mengalami kekejaman yang hebat tanpa bisa memberontak.
            Ketika masa itu tiba, dengan ditemani oleh kedua orang tua mereka berhasil tiba di Perancis dengan semangat untuk bisa mengubah nasib dan keterpurukan perempuan di Afganistan. Perjuangan Latifa ini pada akhirnya diketahui oleh rezim Taliban yang mengancam akan membunuh seluruh anggota keluarganya yang masih berada di Afganistan. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan anggota keluarga yang masih bermukim di Afganistan, perempuan muda hebat ini menggunakan nama samaran Latifa.

Relasi Gender
            Menurut Agarwal (1996: 51), relasi gender merujuk pada relasi kekuasaan di antara perempuan dan laki-laki, yang diungkapkan dalam serangkaian praktek, ide, representasi, termasuk pembagian kerja, peran, dan sumber penghasilan di antara perempuan dan laki-laki, serta anggapan bahwa mereka memiliki kemampuan, sikap, keinginan, watak kepribadian, dan sebagainya yang berbeda. Relasi gender dibentuk oleh dan membantu membentuk praktek-praktek serta ideologi ini di dalam interaksi dengan struktur hierarki sosial yang lain seperti kelas, kasta dan ras. Mereka dapat dilihat sebagian besarnya sebagai konstruksi sosial (daripada ditentukan secara biologis), dan dapat berubah sesuai waktu dan tempat.[3]
            Sama halnya seperti gender, relasi gender tidak sama dalam setiap masyarakat dan tidak pula statis di dalam sejarah. Ia bersifat dinamis dan berubah sesuai waktu. Meskipun demikian, seseorang dapat mengatakan bahwa dalam kebanyakan masyarakat relasi gender bersifat timpang. Semua ini karena konstruksi sosial yang melekat di masyarakat terlanjur mengasumsikan bahwa posisi perempuan berada di ranah domestik. Perempuan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, mengasuh anak, melayani suami dan kegiatan rumah tangga lain.
            Pemahaman ini menimbulkan suatu realita bahwa yang berhak berperan di dalam ranah domestik hanya laki-laki. Secara teoritis, hierarki gender bisa berarti dominasi dari setiap gender, tetapi di dalam praktik hal itu hampir selalu bermakna sebuah hierarki yang mengutamakan kedudukan laki-laki mendominasi dan perempuan didominasi. Relasi gender dengan demikian adalah relasi kekuasaan dan subordinasi dengan elemen kerjasama, kekuatan dan kekerasan untuk mempertahankannya. Dominasi laki-laki atau yang bersifat patriarkal merupakan pemahaman yang ada di masyarakat.[4]
            Konstruksi masyarakat tersebut melahirkan stereotipe yang memberikan citra dan celah bagi laki-laki untuk melakukan diskriminasi dengan mengatasnamakan kebodohan, kelemahan dan daya rasionalitas perempuan yang cenderung lemah yang secara substansial merupakan logika penindasan atas perempuan. Perempuan dipahami hanya sekedar bagian dari laki-laki, tersingkir dari pengambilan keputusan (subordinasi) dan termajinalisasi dari proses ekonomi yang menciptakan suatu ketidakadilan.

Gerakan Feminisme
            Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)[5], feminisme diartikan sebagai ‘gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria’. Istilah feminisme merupakan penggabungan pelbagai doktrin hak-hak yang sama bagi perempuan. Feminisme diawali oleh ketimpangan relasi antara laki-aki dan perempuan di masyarakat sehingga pada akhirnya timbul kesadaran dan upaya untuk menghilangkan ketidaksetaraan dalam relasi ini.
            Istilah feminisme sering disalahpahami. Yang dimaksud dengan istilah tersebut mengacu pada gerakan sosial (social movement) yang dilakukan baik oleh kaum perempuan maupun laki-laki untuk meningkatkan kedudukan dan peran kaum perempuan serta memperjuangkan hak-hak yang dimiliki secara adil.
            Berkaitan dengan itu, muncullah istilah equal right’s movement atau gerakan persamaan hak. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara ini sering dinamakan women’s liberation movement disingkat women’s lib atau women’s emancipation movement, yaitu gerakan pembebasan wanita.
            Pada dasarnya feminisme merupakan implementasi dari kesadaran untuk menciptakan keadilan gender dalam kerangka demokratisasi dan HAM (Hak Asasi Manusia). Gerakan tersebut diperkirakan muncul seiring dengan ideologi aufklarung (enlightment) yang muncul di Eropa pada abad 15-18. Gagasan yang dominan pada waktu itu adalah paham rasionalisme yang ditandai dengan pemujaan akal, pikiran dan rasio. Ide rasionalis mempengaruhi revolusi Perancis (1789-1793) dengan menggunakan slogan kebebasan dari penindasan (liberte), pengakuan terhadap persamaan hak (egalite) dan semangat persaudaraan (fraternite) sebagai semboyan untuk meruntuhkan rezim kerajaan yang otoriter yang digantikan dengan kekuasaan republik yang menggunakan sistem demokrasi.[6]
            Namun perempuan tidak serta merta bisa menikmati hasil dari perjuangan tersebut. Karena setelah revolusi Perancis, peraturan-peraturan yang merugikan perempuan tetap berlaku dan disahkan kembali. Dari sejarah gerakan perempuan di Perancis menunjukkan bahwa perempuan tidak serta merta mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki meskipun telah muncul gagasan liberte, egalite dan fraternite sebagai nilai-nilai universal kemanusiaan. Hegemoni patriarki dan kuatnya sistem sosial budaya yang mengakar menghambat geliat perempuan dalam menuntut keadilan.
            Mary Wollstonecraft (203: 30), perintis gerakan feminisme Inggris dalam A Vindication of the Rights of Woman (Perlindungan Hak-hak Kaum Wanita) yang ditulis di akhir abad ke-19 mengemukakan bahwa kaum wanita, khususnya dari kalangan menengah merupakan kelas tertindas yang harus bangkit dari belenggu rumah tangga. Dalam masyarakat patriarkal, perempuan dimasukkan ke dalam kubu rumah yang terbatas pada lingkungan serta kehidupan di rumah, sedangkan laki-laki menguasai kubu umum, yaitu lingkungan dan kehidupan di luar rumah.[7]
            Perempuan seringkali berada dalam situasi keterikatan. Keterikatan ini berarti ketidakmerdekaan perempuan sebagai manusia dalam menentukan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sendiri. Situasi ketidakadilan tersebut muncul karena struktur budaya yang dibuat oleh manusia.

Penokohan Latifa dalam novel My Forbidden Face
            Sebagai penulis sekaligus tokoh utama dalam novel My Forbidden Face, Latifa adalah sosok perempuan muda Afgan yang merasa hidup dan kehidupannya tercerabut dengan paksa oleh rezim berkuasa di negeri yang dia cintai. Di tengah kondisi ketidakberdayaan untuk melawan himpitan represi, dia berjuang untuk mengubah konstruksi gender yang sangat patriarkis. Impian dan harapan gadis muda ini adalah menjadi seorang jurnalis. Bertepatan dengan akan diikutinya tes ujian masuk sekolah jurnalisnya, Taliban datang dan membentangkan kekuasaan yang sungguh di luar batas akal sehat manusia. Hari-hari keterkungkungannya berdiam diri di rumah tanpa bisa melakukan sesuatu yang bearrti membuat Latifa depresi, kehilangan semangat dan kepercayaan diri untuk menggapai mimpi dan harapan yang dia angankan. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut:
            The days are endless tunnels of inactivity. I spend most of my times lying down in my room, staring at the ceiling or reading. No more jogging in the morning, no more biking – I’m slowly going to seed. No more English classes, or newspapers (2001: 57-58).

            Peran Latifa sebagai pendobrak sistem patriarki dari dominasi Taliban ini tidak semuanya menunjukkan kesadaran sebagai perempuan yang mengerti akan hak-haknya. Ada ambivalensi yang terlihat ketika dia tidak menolak sistem dan tradisi budaya masyarakat yang berlaku di negaranya yang menganggap bahwa perempuan tidak bisa lepas dari campur-tangan laki-laki dalam kehidupan seorang perempuan. Laki-laki akan selalu berperan dalam kehidupan seorang perempuan. Dia tidak menyangkal tradisi ini, yang dia inginkan hanya kemerdekaan dan kebebasan untuk berpikir. Dengan kata lain, sepandai dan seberhasil seorang perempuan Afgan namun dia tetap akan bergantung kepada sosok laki-laki. Seperti dalam kutipan berikut:
            Of course I understand that a woman cannot live in our culture without the protection of a man, be he her father, brother, or husband, because she has no existence on her own in society. I don’t refuse this protection – on the contrary – but I want my independence and my freedom of thought (2001: 85).

            Bagi Latifa, hidup yang selalu didampingi sosok seorang laki-laki bukan menjadi suatu masalah yang mengganggu asalkan dia memiliki kemerdekaan dan kebebasan berpikir. Kedua hal itulah yang utama bagi Latifa. Dia akan tetap bisa bebas berekspresi, beraktivitas dan bermain-main layaknya gadis remaja lain.
            Penderitaan demi penderitaan yang dia lihat sebagai akibat aturan paksa yang dibuat oleh Taliban bagi kaum perempuan di Afganistan semakin memuncak ketika ketidakadilan semakin sering dia jumpai di lingkungan tempat tinggalnya. Terlebih ketika kekerasan demi kekerasan makin menghebat dan menimbulkan jatuhnya banyak korban yang tidak berdosa. Ketidakadilan sekarang berada di hadapan Latifa. Hingga dia memutuskan untuk bertindak dan berjuang di bawah tanah. Ketiadaan sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak perempuan menyulut semangatnya untuk membagikan ilmu yang dia miliki.
            Sekolah rahasia ini pernah dijalankan oleh seorang mantan guru mereka, Mrs. Fawzia yang tertangkap oleh Taliban ketika sedang mengajar – tepat di tengah-tengah pelajaran. Pertama-tama, Taliban memukuli anak didik, kemudian memukul Mrs. Fawzia. Mereka melemparnya ke bawah tangga gedung dengan kasar sehingga ia mengalami patah kaki. Kemudian Taliban menyeret rambutnya dan memenjarakannya. Setelah itu, mereka memaksanya menandatangani pernyataan bahwa dia tidak akan melakukannya lagi, yang menunjukkan bahwa ia menghormati hukum Taliban. Mereka mengancam akan menghukum seluruh keluarganya dengan lemparan batu di depan publik jika ia tidak mengakui tindakannya sebagai sebuah kesalahan.
            Latifa sangat mengagumi sosok Mrs. Fawzia. Dia mengajarinya banyak hal ketika masih menjadi muridnya. Ketika mendirikan sekolah rahasia, Mrs. Fawzia sadar dengan apa yang ia lakukan dan resiko yang akan dia terima apabila ketahuan oleh pihak Taliban. Latifa ingin melanjutkan kebaikan-kebaikan yang sudah dilakukan oleh mantan guru yang dia hormati.
            Keberhasilan Latifa untuk melanjutkan perjuangan Mrs. Fawzia dengan an underground school bersama temannya, Farida tidak menyurutkan semangat dia untuk mengubah nasib dan keadaan. Terlebih ibunya adalah seorang perempuan modern yang juga seorang ahli ginekologi dan memiliki gelar tinggi, tidak dapat lagi mengabdikan diri untuk menemui pasien-pasien perempuan yang membutuhkan keahliannya di rumah sakit, dilanda depresi berkepanjangan. Adanya larangan bagi perempuan untuk bekerja di segala sektor dan juga perasaan tidak berdaya melihat dia tidak lagi bisa menolong para perempuan korban kekejaman Taliban membuat sang ibu merasa terpasung dengan keahlian yang mustinya dapat dipergunakan untuk menolong orang lain.
            Kesempatan untuk merepresentasikan penderitaan akibat kekejaman rezim Taliban dating kepada Dr. Sima, relasi sang ibu yang menjalankan layanan bedah di bawah tanah di Kabul dengan mengirim pesan kepada ibu Latifa. Dia mencari seorang perempuan untuk dapat pergi ke Paris dan berbicara tentang situasi di Afganistan. Sebuah majalah Perancis dan sebuah asosiasi di Perancis akan mulai melakukan kampanye.
            Dia ingin ada seorang perempuan Afgan yang dapat menjadi aspirator dan menyuarakan segala wujud ketertindasan perempuan Afgan atas kekejaman Taliban. Dr. Sima ingin Latifa memberikan kesaksian kepada dunia luar atas penderitaan perempuan Afgan dan juga tentang underground school yang dia jalankan sebagai usahanya untuk mengubah nasib perempuan Afgan yang terepresi. Berikut kutipan yang memperlihatkan kemauan Dr. Sima pada Latifa untuk menjalankan misi penting ke dunia luar:
            It would be good if latifa could go there to talk about what she’s seen, the way women are persecuted, the secret schools. Such testimony is the only way we can resist (2001: 247).

            Dorongan ibu dan kakak perempuan Latifa, Soraya yang luar biasa untuk menjadi key speaker bagi perempuan Afgan yang tertindas membuat Latifa memberanikan diri untuk keluar dari Afanistan dan ‘bersuara’ di depan publik.
            Keberanian Latifa untuk menjadi wakil bagi perempuan Afgan ini harus dia bayar dengan mahal, selain ayah dan ibu yang menyertainya ke Perancis, anggota keluarga yang lain masih menetap di Afgan mendapat ancaman yang sangat keras. Akibat yang lain adalah dia bersama orangtuanya tidak diperkenankan lagi untuk kembali ke Kabul. Identitas mereka telah diketahui oleh Taliban dan mengeluarkan ancaman untuk membunuh mereka. Harapan dan impian Latifa untuk menghilangkan segala represi atas nasib perempuan Afgan tidak pernah padam, salah satunya dengan menulis sebuah novel, My Forbidden Face yang menobatkannya menjadi Perempuan Internasional PBB 2002. Sebuah keberanian yang sungguh luar biasa, yang menimbulkan decak kagum, keharuan dan patut diapresiasi oleh setiap orang di belahan bumi manapun.
            Munculnya gerakan perempuan seperti yang dilakukan Latifa merupakan bentuk perlawanan sosial-budaya sekaligus perlawanan terhadap struktur sosial masyarakat yang terlanjur mapan dengan menempatkan kedudukan perempuan di bawah kedudukan laki-laki. Gugatan atas perilaku hegemoni kaum laki-laki tersebut mengarah pada penolakan situasi negatif (diskriminasi gender) yang mengakibatkan posisi perempuan: 1) tersingkir dari pengambilan keputusan, 2) terpinggirkan dari proses ekonomi, 3) mengalami pelecehan dan tindakan kekerasan, 4) menanggung beban yang berlebihan, dan 5) mengalami cap-cap sosial yang menungkinkan berlanjutnya situasi ketidakadilan gender.

Penggambaran Represi Perempuan oleh Relasi Patriarki dan Kekuasaan
            Ketika perempuan tidak lagi bisa menyuarakan kebebasan dan kemerekaan yang dimiliki, sejak saat itulah perempuan terepresi oleh kungkungan sistem dan tradisi. Dalam novel My Forbidden Face ini, perempuan terepresi oleh kekuasaan yang mengatasnamakan suatu agama tertentu yang cenderung bertindak berdasarkan relasi patriarki. Perempuan hanya diperbolehkan berada di ranah domestik dengan tidak diperbolehkannya mereka bekerja, bersekolah, dan segala bentuk kegiatan yang dilakukan di luar rumah. Hanya kaum laki-laki yang dianggap paling berhak berada di ranah publik. Kaum laki-laki dapat dengan bebas bepergian ke luar rumah, bekerja, dan melakukan segala aktivitas lain.
            Larangan-larangan bagi kaum perempuan ini apabila dilanggar akan menimbulkan konsekuensi yang luar biasa. Taliban tidak segan-segan untuk membunuh, menyiksa bahkan melakukan tindakan brutal yang di luar batas kemanusiaan. Latifa sering menyaksikan para perempuan yang menjadi korban kekejaman Taliban ketika mereka datang berobat ke klinik bedah bawah tanah milik sang ibu. Hal pertama yang dia jumpai adalah ketika mendapati seorang janda datang ke rumahnya dengan wajah yang sembab, bibir bengkak dan berdarah disertai luka-luka di dada dan punggungnya. Perempuan ini hanyalah salah satu contoh korban ketidakadilan hukum Taliban. Dia terpaksa harus keluar rumah karena tidak ada lagi orang laki-laki di rumahnya, namun pihak Taliban tidak peduli. Yang mereka pikirkan, perempuan ini melanggar aturan yang mereka perbuat hingga patut mendapat deraan sikasaan dari mereka. Berikut kutipan yang menggambarkan keterangan dari seorang perempuan yang memperoleh perlakuan kejam dari Taliban:
            “My father was killed during the fighting of the winter of 1994. I have no husband, no brother, no so. How can I help going out alone (2001: 88).

            Metode baru yang lebih kejam Taliban lakukan untuk makin merepresi para perempuan Afgan untuk menunjukkan superioritas mereka. Perbuatan yang sungguh biadab ini semakin membuka mata hati dan batin Latifa atas tindakan kejahatan terhadap perempuan.
            Suatu ketika ibu Latifa kedatangan tiga orang perempuan muda yang berusia antara lima belas-enam belas tahun. Latifa belum menyadari apa penderitaan ketiga perempuan yang sebaya dengannya ketika melihat ketiganya telungkup di lantai dan menangis pelan di dalam chadri mereka. Salah satu dari mereka bergerak-gerak sambil memegangi perutnya. Gambaran ketiga perempuan ini semakin melekat dalam benak Latifa ketika sang ibu meceritakan peristiwa luar biasa yang sanggup membuat orang trenyuh, sedih, menangis pilu bahkan mungkin juga dendam dan marah atas perlakuan yang telah mereka terima dari tentara Taliban. Berikut kutipan yang menunjukkan salah satu represi Taliban terhadap perempuan Afgan:
            They’re about your age, Latifa, fifteen or sixteen… Some talibs captured them during their offensive on the Shamali Plain, aband of about fifteen me. They raped them. All fifteen men. It’s revolting, but ….that’s not all, they … mutilated their genitals, they sore them (2001: 91).

            Dari kutipan di atas kita dapat melihat bahwa tindakan perkosaan belumlah cukup bagi Taliban untuk merepresi perempuan Afgan, mereka bertindak lebih sadis dengan melakukan mutilasi terhadap alat kelamin mereka. Suatu tindakan yang tidak patut dilakukan oleh suatu rezim yang mengatasnamakan agama tertentu dan merasa dirinya adalah wakil Tuhan yang dapat memperlakukan perempuan tanpa melihat hak-hak asasi yang dimiliki.

Penutup
            Sebagai penutup dari tulisan ini, representai Latifa sebagai seorang perempuan Afgan yang memperjuangkan nasib perempuan di negerinya yang terepresi bertahun-tahun dari beberapa kali kolonialisme dan rezim yang berkuasa dapat membuka cakrawala kita bahawa masih banyak perempuan lain yang terintimidasi oleh relasi kuasa yang berujung pada sistem patriarki. Nasib perempuan dalam novel ini tak ubahnya selalu menjadi victim dari perjuangan yang tak pernah ada akhir. Kebebasan dan kemerdekaan yang terenggut dengan paksa tanpa bisa memberikan perlawanan yang berarti.
            Represi demi represi digambarkan cukup menyentuh dan membuat kita sadar bahwa kebebasan untuk bersuara, berekspresi dan beraktivitas adalah suatu hal yang sungguh bernilai, priceless dan mahal harganya bagi perempuan Afgan. Tradisi dan identitas budaya yang melekat dan berakar dengan kuat menajdi salah satu pemicu keterbelengguan mereka dari segala macam bentuk represi yang seharusnya tak pernah ada.
            Konflik antar etnis yang berlangsung di suatu Negara berimbas pada rakyat sipil, perempuan dan anak-anak. Mereka adalah kelompok terbesar yang sangat terepresi dari segala efek dan kekejaman akibat pertikaian yang tak pernah berujung. Relasi kuasa yang didominasi oleh ideologi patriarki semakin melibas posisi dan peran mereka. Mereka hanya kaum terpinggirkan dan tersubordinasi oleh kekuasaan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.





Acuan
 Agarwal, Bina. 1996. A Field One’s Own: Gender and Land Rights in South Asia. New Delhi: Cambridge University Press.

Amal, Siti Hidayati. 1992. Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis Permasalahan Wanita dalam Indonesia Journal Of Social & Cultural Anthropology. No. 50 Th. XIV. Sep-Des. Jakarta.

Bhasin, Kamla. 2000. Understanding Gender. Kali Primaries.
Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1997. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Latifa. 2001. My Forbidden Face. Growing Up Under the Taliban: A Young Woman’s Story. Translated by Linda Coverdale. USA.

Mohanty, Chandra Talpade. 2005. Feminisme sebagai Wacana Kolonial dalam Perempuan Multikultural: Negoisasi dan Representasi. Jakarta: Desantara.
Murniati, A. Nunuk P, 2004. Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga. Buku Kedua. Magelang: Indonesia Tera.

Sahardin, Rosnani. 2002. Sudahkah Status Perempuan Itu Berubah? dalam Perempuan di Wilayah Konflik, Jurnal Perempuan Ed. 24. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Daftar Situs Web yang dipunggah:


[1] Gerakan Taliban atau Taleban adalah gerakan nasionalis Islam Sunni pendukung Pashtun yang secara efektif menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan sejak 1996 sampai 2001. Kelompok ini mendapat pengakuan diplomatik hanya dari 3 negara: Uni Emirat Arab, Pakistan dan Arab Saudi serta pemerintah Republik Checnya Ichkeria yang tidak diakui dunia. Anggota-anggota paling berpengaruh dari Taliban, termasuk Mullah Mohammed Omar, pemimpin gerakan ini, adalah Mullah desa (pelajar yunior agama Islam), yang sebagian besar belajar di madrasah di Pakistan. Gerakan ini terutama berasal dari Pashtun di Afganistan serta Provinsi Perbatasan Barat Laut (Nort-West Frontier Province, NWFP) di Pakistan, dan juga mencakup banyak sukarelawan dari Arab, Eurasia serta Asia Selatan. Pemerintahan Taliban digulingkan oleh Amerika Serikat karena dituduh melindungi pemimpin Al Qaeda Osama Bin Laden yang dituduh Washington mendalangi serangan terhadap menara kembar, WTC, New York pada tanggal 11 september 2001. Invasi ini dimulai pada bulan Oktober sampai dengan bulan November 2002 dengan secara mengejutkan pihak Taliban langsung keluar dari Ibukota Afganistan, Kabul sehingga pihak Amerika Serikat relative cepat dan mudah menguasai, dipunggah dari http://id.wikipedia.org/wiki/Taliban, 31 Maret 2010.
[2] Disarikan dari Latifa. A Brief Chronology dalam My Forbidden Face (New York: 2001, 279-283).
[3] Bina Agarwal, A Field of One’s Own: Gender and Land Rights in South Asia (New Delhi: Cambridge University Press, 1996: 51).
[4] Kamla Bhasin, Memahami Gender (Jakarta: TePLOK PRESS, 2002: 36).
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: 1997: 324).
[6] Siti Hidayati Amal. Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis Permasalahan Wanita dalam Indonesian Journal of Social & Cultural Anthropology No. 50 Th. XIV, Sep-Des 1992).
[7] Soenarjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003: 30).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar